AKU MENCINTAIMU, KETIKA;
Aku mencintaimu, ketika;
Lumbung-lumbung padi
dipenuhi bangkai tikus,
Ketika ladang dan pematang
gelanggang banting-tulang hilang,
menjadi sengketa dalih renovasi.
Ketika sekepal nasi kehilangan karbohidrat,
Bening mata air diselami potas.
Aku mencintaimu, ketika;
Ribuan Ibu rela ditinggal anak merantau jauh
ke jantung kota demi sekepal upah,
Ketika gelar dan ijazah menjadi
bungkus gorengan
jajanan tepi jalan,
Ketika tukang becak kehilangan sewa,
terungku dipenuhi para mangsa terka dan kira.
Aku mencintaimu, ketika;
Kopi, teh, dan arak setara dalam keramaian
Ketika berpeluk moksa di muka raya
tanpa peduli sekitar menjadi aib yang wajar
Ketika mengobrol dengan pelacur
dianggap lacur
Sedang kumpul kerbau telah masyhur
Aku mencintaimu, ketika;
Gugu dan tiru mulai jatuh
Ketika bocah Smp belajar meremas payudara
Ketika murid berani aniaya gurunya
Ketika sekolah menjadi gelanggang adu harta
adu rupa, dan adu kuasa.
Aku mencintaimu, ketika;
Berbicara tak lagi saling tatap muka
Ketika bayi-bayi kehilangan ASI
dari payudaya ibunya,
Ketika bayi-bayi menetek pada sapi
Ketika payudara ibu tak bisa dibagi-bagi
Ketika berak dan kencing
setara harga sarapan pagi.
Aku mencintaimu dengan tragedi;
Ketika ratusan bocah berkemah
hanyut di sungai
Ketika alat negara ditembak saat berwudhu
Ketika pelacur dijebak anggota DPR
"dipake dulu, baru dilaporkan".
Ketika ikan-ikan di Natuna
dalam kokangan senjata.
Aku mencintaimu, ketika;
Cermin belajar berbohong
Ketika metafora dijadikan kadar
sebuah hasta karya
Ketika pemabuk peri kencing di celana
Ketika paruh baya diarak, diseret, dimasukan truk-berdesakan, dibariskan di lapangan, dan dipaksa teriak, SATU ATAU DUA tanpa mengerti untuk apa.
Aku mencintaimu, ketika;
Embun jatuh bersama subuh,
Ketika takbir, ketika rukuk, ketika sujud,
Ketika Senin, Ketika Selasa, ketika Rabu,
ketika Kamis, ketika Jumat, di Selandia Baru puluhan mualim berkalang tanah
ditembaki saat beribadah
Ketika Sabtu, ketika Minggu,
ketika saling lempar batu.
Aku mencintaimu, ketika;
Mendung, ketika panas, ketika kemarau
Ketika hutan-hutan terbakar
puluhan ribu orang disekap asap
Ketika separuh Indonesia kehilangan embun
kehilangan oksigen, kehilangan pekerjaan.
Ketika rampang akan rancang undang-undang.
Aku mencintaimu, ketika;
Gerimis, ketika hujan
Ketika banjir hanyutkan ribuan puisi
ke balai kota
Ketika phiton tidur seranjang
dengan warga,
Ketika melati, ketika mawar, anggrek dan matamorry saling silang; hias Balai kota.
Aku mencintaimu hari ini;
Ketika Amerika, Cina, Iran, ketika Indonesia
Ketika 72 negara dijamu pandemi
Ketika dunia dihebohkan
dengan wabah Corona,
Ketika Cina diserang jutaan belalang,
Ketika makkah dan madinah sunyi atas ibadah
Ketika ibadah umroh ditahan sementara,
guna mencegah penularan.
"sekali dalam sejarah!"
Aku mencintaimu,
ketika salam dengan mencium tangan tidak dibolehkan, guna mencegah penularan.
Aku mencintaimu ketika;
Kawanan seumur jagung retakan rembulan,
patahkan gemintang, memarkan senja, bakar pagi demi kado kekasih hati.
Ketika tak sependapat dicap tiri
Ketika berani melawan takkan punya kawan.
Aku mencintaimu, malam ini
Ketika senang, ketika sedih, duka dan lara
Ketika waras, ketika sinting
Ketika gelas kaca, botol martel, ketika beling
ketika bibir, ketika gincu, ketika aku dibilang Tuan para ratu anarki, ketika segala hal rancu
antarkan menuju pelukmu.
Aku mencintaimu, ketika;
Perak tubuhmu dipenuhi rajah ragam metonimia
Ketika repetisi berulang riwayatkan rendahnya makrifat literasi
Ketika kau dijadikan dedahan guna sampai puncak keduniaan.
Ketika tanda tanya hanya retorika dalam penegasan, tanpa jawaban.
Ketika desakan bawah
hanya jadi pentas najis
dengan gong-gong
dari anjung seekor anjing.
Wahai, Puisi.
Aku mencintaimu, ketika aku tahu
cinta tak dimiliki tiap nadi lagi,
Ketika cinta tak singgah di tiap nyawa.
Aku mencintaimu, wahai, Puisi!.
Kotagu Hayatudin, Majalengka, Jawa Barat, 2020
SURAT DARI RANTAU
/1/
Mak, Jika dulu ladang dan pematang
Petak-petak sawah tak hilang
digantikan pabrik kutang
Dan tanggal tua tak harus bayar cicilan hutang
Tidak mungkin aku merantau hijrah jauh ke seberang
mengemis-ngemis demi sekepal upah, Mak.
/2/
Dalam kontrakan yang sudah nunggak dua bulan ini
Dengan penuh isak kutulis surat ini
Bukan karena aku tak lagi punya hati
Bukan pula aku tega sakiti hatimu, Mak.
Tetapi kutulis surat ini, ketika kurasa harapan untuk pulang ke kampung hilang, Mak.
Jalanan sepi, pedagang sepi, Masjid sepi, Gereja sepi, Biara sepi, kota seakan mati
Transfortasi minim beroprasi, tak sedikit yang kehilangan gaji juga gizi.
Kecuali, malam yang diramaikan oleh batuk dan bersin
dari apartement ke apartement, dari kontrakan ke kontrakan, dari dusun ke dusun, dari gang ke gang, dari rumah ke rumah, dan aku di antaranya, Mak.
/3/
Kutulis surat ini, ketika;
mataku jarang lagi melihat pemandangan orang-orang ibadah berjamaah,
Ketika mataku tak lagi melihat
Kawanan seragam ramai di pagi hari,
Ketika pengajian sepi, tongkrongan kopi sepi.
Kecuali media-media beritakan riuh rendah orang-orang berebut masker, berebut vitamin, berebut makanan,
Saling silang ketakutan, dan aku di antaranya, Mak.
/4/
Kutulis surat ini, ketika;
Bibir seorang Jubir berkata seolah kawanan miskin seperti kita yang susah ikuti imbauan pemerintah, Mak.
Seolah kita mata wabah utama yang tularkan corona terhadap orang-orang kaya
Sengaja atau tidak sengaja ia berkata,
Nasi sudah menjadi bubur, Gelas sudah terdorong ke Cina. Dalam pribahasa.
/5/
Mak, sudah sebulan lamanya aku tak kerja
Sisa gaji sudah tak lagi cukupi kebutuhan harian
Kontrakan sudah nunggak dua bulan
Perut lapar harus diisi makanan
dan makanan harus dibeli,
Pandemi ganyang segalanya, Mak.
Sosial, budaya, ekonomi, bahkan sunah, Mak.
Coba dulu aku turuti katamu untuk mengaji,
Mungkin dalam kondisi pandemi seperti ini
Imanku lebih tebal menghadapi ini.
/6/
Mak, dan yang terakhir
Kutulis surat ini dengan air mata, dengan pilek, dengan batuk dan demam.
Tahun ini mungkin aku tak bisa pulang,
Ramdhan ini mungkin aku tak bisa di rumah
Tak bisa temanimu membuat kolak untuk berbuka
tak bisa buka bersama-sama,
tak bisa tarawih bersama-sama,
tak bisa tadarus, membaca Qur'an bergiliran
tak bisa sahur bersama-sama
Dan mungkin,
Tak bisa saling peluk
dan salaman di hari lebaran.
Semoga orang-orang dikampung sehat selalu.
Dari rantau, untuk Emak.
Kotagu Hayatudin, Majalengka, 2020
Aku mencintaimu, ketika;
Lumbung-lumbung padi
dipenuhi bangkai tikus,
Ketika ladang dan pematang
gelanggang banting-tulang hilang,
menjadi sengketa dalih renovasi.
Ketika sekepal nasi kehilangan karbohidrat,
Bening mata air diselami potas.
Aku mencintaimu, ketika;
Ribuan Ibu rela ditinggal anak merantau jauh
ke jantung kota demi sekepal upah,
Ketika gelar dan ijazah menjadi
bungkus gorengan
jajanan tepi jalan,
Ketika tukang becak kehilangan sewa,
terungku dipenuhi para mangsa terka dan kira.
Aku mencintaimu, ketika;
Kopi, teh, dan arak setara dalam keramaian
Ketika berpeluk moksa di muka raya
tanpa peduli sekitar menjadi aib yang wajar
Ketika mengobrol dengan pelacur
dianggap lacur
Sedang kumpul kerbau telah masyhur
Aku mencintaimu, ketika;
Gugu dan tiru mulai jatuh
Ketika bocah Smp belajar meremas payudara
Ketika murid berani aniaya gurunya
Ketika sekolah menjadi gelanggang adu harta
adu rupa, dan adu kuasa.
Aku mencintaimu, ketika;
Berbicara tak lagi saling tatap muka
Ketika bayi-bayi kehilangan ASI
dari payudaya ibunya,
Ketika bayi-bayi menetek pada sapi
Ketika payudara ibu tak bisa dibagi-bagi
Ketika berak dan kencing
setara harga sarapan pagi.
Aku mencintaimu dengan tragedi;
Ketika ratusan bocah berkemah
hanyut di sungai
Ketika alat negara ditembak saat berwudhu
Ketika pelacur dijebak anggota DPR
"dipake dulu, baru dilaporkan".
Ketika ikan-ikan di Natuna
dalam kokangan senjata.
Aku mencintaimu, ketika;
Cermin belajar berbohong
Ketika metafora dijadikan kadar
sebuah hasta karya
Ketika pemabuk peri kencing di celana
Ketika paruh baya diarak, diseret, dimasukan truk-berdesakan, dibariskan di lapangan, dan dipaksa teriak, SATU ATAU DUA tanpa mengerti untuk apa.
Aku mencintaimu, ketika;
Embun jatuh bersama subuh,
Ketika takbir, ketika rukuk, ketika sujud,
Ketika Senin, Ketika Selasa, ketika Rabu,
ketika Kamis, ketika Jumat, di Selandia Baru puluhan mualim berkalang tanah
ditembaki saat beribadah
Ketika Sabtu, ketika Minggu,
ketika saling lempar batu.
Aku mencintaimu, ketika;
Mendung, ketika panas, ketika kemarau
Ketika hutan-hutan terbakar
puluhan ribu orang disekap asap
Ketika separuh Indonesia kehilangan embun
kehilangan oksigen, kehilangan pekerjaan.
Ketika rampang akan rancang undang-undang.
Aku mencintaimu, ketika;
Gerimis, ketika hujan
Ketika banjir hanyutkan ribuan puisi
ke balai kota
Ketika phiton tidur seranjang
dengan warga,
Ketika melati, ketika mawar, anggrek dan matamorry saling silang; hias Balai kota.
Aku mencintaimu hari ini;
Ketika Amerika, Cina, Iran, ketika Indonesia
Ketika 72 negara dijamu pandemi
Ketika dunia dihebohkan
dengan wabah Corona,
Ketika Cina diserang jutaan belalang,
Ketika makkah dan madinah sunyi atas ibadah
Ketika ibadah umroh ditahan sementara,
guna mencegah penularan.
"sekali dalam sejarah!"
Aku mencintaimu,
ketika salam dengan mencium tangan tidak dibolehkan, guna mencegah penularan.
Aku mencintaimu ketika;
Kawanan seumur jagung retakan rembulan,
patahkan gemintang, memarkan senja, bakar pagi demi kado kekasih hati.
Ketika tak sependapat dicap tiri
Ketika berani melawan takkan punya kawan.
Aku mencintaimu, malam ini
Ketika senang, ketika sedih, duka dan lara
Ketika waras, ketika sinting
Ketika gelas kaca, botol martel, ketika beling
ketika bibir, ketika gincu, ketika aku dibilang Tuan para ratu anarki, ketika segala hal rancu
antarkan menuju pelukmu.
Aku mencintaimu, ketika;
Perak tubuhmu dipenuhi rajah ragam metonimia
Ketika repetisi berulang riwayatkan rendahnya makrifat literasi
Ketika kau dijadikan dedahan guna sampai puncak keduniaan.
Ketika tanda tanya hanya retorika dalam penegasan, tanpa jawaban.
Ketika desakan bawah
hanya jadi pentas najis
dengan gong-gong
dari anjung seekor anjing.
Wahai, Puisi.
Aku mencintaimu, ketika aku tahu
cinta tak dimiliki tiap nadi lagi,
Ketika cinta tak singgah di tiap nyawa.
Aku mencintaimu, wahai, Puisi!.
Kotagu Hayatudin, Majalengka, Jawa Barat, 2020
SURAT DARI RANTAU
/1/
Mak, Jika dulu ladang dan pematang
Petak-petak sawah tak hilang
digantikan pabrik kutang
Dan tanggal tua tak harus bayar cicilan hutang
Tidak mungkin aku merantau hijrah jauh ke seberang
mengemis-ngemis demi sekepal upah, Mak.
/2/
Dalam kontrakan yang sudah nunggak dua bulan ini
Dengan penuh isak kutulis surat ini
Bukan karena aku tak lagi punya hati
Bukan pula aku tega sakiti hatimu, Mak.
Tetapi kutulis surat ini, ketika kurasa harapan untuk pulang ke kampung hilang, Mak.
Jalanan sepi, pedagang sepi, Masjid sepi, Gereja sepi, Biara sepi, kota seakan mati
Transfortasi minim beroprasi, tak sedikit yang kehilangan gaji juga gizi.
Kecuali, malam yang diramaikan oleh batuk dan bersin
dari apartement ke apartement, dari kontrakan ke kontrakan, dari dusun ke dusun, dari gang ke gang, dari rumah ke rumah, dan aku di antaranya, Mak.
/3/
Kutulis surat ini, ketika;
mataku jarang lagi melihat pemandangan orang-orang ibadah berjamaah,
Ketika mataku tak lagi melihat
Kawanan seragam ramai di pagi hari,
Ketika pengajian sepi, tongkrongan kopi sepi.
Kecuali media-media beritakan riuh rendah orang-orang berebut masker, berebut vitamin, berebut makanan,
Saling silang ketakutan, dan aku di antaranya, Mak.
/4/
Kutulis surat ini, ketika;
Bibir seorang Jubir berkata seolah kawanan miskin seperti kita yang susah ikuti imbauan pemerintah, Mak.
Seolah kita mata wabah utama yang tularkan corona terhadap orang-orang kaya
Sengaja atau tidak sengaja ia berkata,
Nasi sudah menjadi bubur, Gelas sudah terdorong ke Cina. Dalam pribahasa.
/5/
Mak, sudah sebulan lamanya aku tak kerja
Sisa gaji sudah tak lagi cukupi kebutuhan harian
Kontrakan sudah nunggak dua bulan
Perut lapar harus diisi makanan
dan makanan harus dibeli,
Pandemi ganyang segalanya, Mak.
Sosial, budaya, ekonomi, bahkan sunah, Mak.
Coba dulu aku turuti katamu untuk mengaji,
Mungkin dalam kondisi pandemi seperti ini
Imanku lebih tebal menghadapi ini.
/6/
Mak, dan yang terakhir
Kutulis surat ini dengan air mata, dengan pilek, dengan batuk dan demam.
Tahun ini mungkin aku tak bisa pulang,
Ramdhan ini mungkin aku tak bisa di rumah
Tak bisa temanimu membuat kolak untuk berbuka
tak bisa buka bersama-sama,
tak bisa tarawih bersama-sama,
tak bisa tadarus, membaca Qur'an bergiliran
tak bisa sahur bersama-sama
Dan mungkin,
Tak bisa saling peluk
dan salaman di hari lebaran.
Semoga orang-orang dikampung sehat selalu.
Dari rantau, untuk Emak.
Kotagu Hayatudin, Majalengka, 2020