SURAT DARI RUMAH SAKIT
Petrus Nandi
Ada yang hendak kuutarakan padamu saat ini
Bahwa kau dan aku
Bagai dua mata pulau yang tak berkedip
Kita tak dapat beradu pandang
Sebab demi melangkaui kesendirian ini aku tak mampu
Sayang, betapa kuingin mengecup bibirmu yang ranum
Seperti yang pernah kugiati dengan manja
Di atas ranjang kita
Tapi, apalah daya
Tuk melisankan niatku saja
Aku tak dapat
Lagi pula aku tak mau maut ini menderamu
Cukup aku sendiri yang marasakan
Sunyi yang menusuk bilik nadi ruangan ini.
Sayang, betapa aku ingin mengelus
Wajahmu yang berlumuran rupa-rupa keresahan
Tapi, apalah daya
Mengangkat tangan tuk menggapaimu
Aku tak sampai
Lagi pula, dalam masa pelik ini
Adalah haram bila tubuh kita saling menyapa
Dan aku terlanjur terasing di rumah keramat.
Sayang, sebenarnya aku ingin sekali
Menyanyikan lagu Nina Bobo untuk buah hati kita
Seperti suaraku pernah dengan merdu
Mengiringi matanya menuju lelap setiap malam
Tapi, kata dokter
Malam ini aku tak dapat melawati kalian
Lagipula aku mau darahku tak berhenti mengalir
Dalam tubuhnya
Lagi pula, aku tak ingin membawa maut untuknya
Bila aku memaksakan niatku ini.
Sayang, aku mau engkau tenang bersama dia
Jagalah dirinya
Jangan biarkan ia terluka
Bawalah damai
Sepanjang engkau masih dapat memandangnya
Sayang, aku tidak keberatan
Bila pada hari mereka mengusung
Tubuhku yang kaku menuju alam yang kekal
Engkau dan dirinya tak berada di sana
Aku bakal menjadi sangat tenteram
Bila kau tak merintih pilu di samping nisanku
Ketahuilah sayangku, aku menulis surat ini
Saat aku merasa yakin
Bahwa aku benar-benar akan pergi
Meninggalkan kalian
Selamanya.
Selamat tinggal, kurangkai wajah kalian
Di keabadian doa.
Kamar Sunyi, 6 April 2020.
Petrus Nandi, penyair desa. Saat ini menetap di Maumere, Flores. Bergiat di komunitas sastra Djarum Scalabrini.
Petrus Nandi
Ada yang hendak kuutarakan padamu saat ini
Bahwa kau dan aku
Bagai dua mata pulau yang tak berkedip
Kita tak dapat beradu pandang
Sebab demi melangkaui kesendirian ini aku tak mampu
Sayang, betapa kuingin mengecup bibirmu yang ranum
Seperti yang pernah kugiati dengan manja
Di atas ranjang kita
Tapi, apalah daya
Tuk melisankan niatku saja
Aku tak dapat
Lagi pula aku tak mau maut ini menderamu
Cukup aku sendiri yang marasakan
Sunyi yang menusuk bilik nadi ruangan ini.
Sayang, betapa aku ingin mengelus
Wajahmu yang berlumuran rupa-rupa keresahan
Tapi, apalah daya
Mengangkat tangan tuk menggapaimu
Aku tak sampai
Lagi pula, dalam masa pelik ini
Adalah haram bila tubuh kita saling menyapa
Dan aku terlanjur terasing di rumah keramat.
Sayang, sebenarnya aku ingin sekali
Menyanyikan lagu Nina Bobo untuk buah hati kita
Seperti suaraku pernah dengan merdu
Mengiringi matanya menuju lelap setiap malam
Tapi, kata dokter
Malam ini aku tak dapat melawati kalian
Lagipula aku mau darahku tak berhenti mengalir
Dalam tubuhnya
Lagi pula, aku tak ingin membawa maut untuknya
Bila aku memaksakan niatku ini.
Sayang, aku mau engkau tenang bersama dia
Jagalah dirinya
Jangan biarkan ia terluka
Bawalah damai
Sepanjang engkau masih dapat memandangnya
Sayang, aku tidak keberatan
Bila pada hari mereka mengusung
Tubuhku yang kaku menuju alam yang kekal
Engkau dan dirinya tak berada di sana
Aku bakal menjadi sangat tenteram
Bila kau tak merintih pilu di samping nisanku
Ketahuilah sayangku, aku menulis surat ini
Saat aku merasa yakin
Bahwa aku benar-benar akan pergi
Meninggalkan kalian
Selamanya.
Selamat tinggal, kurangkai wajah kalian
Di keabadian doa.
Kamar Sunyi, 6 April 2020.
Petrus Nandi, penyair desa. Saat ini menetap di Maumere, Flores. Bergiat di komunitas sastra Djarum Scalabrini.