Cerpen Ali Ibnu Anwar
Perempuan yang tadinya berdiri tegak di depanku, kini duduk di samapingku selepas salah seorang penumpang yang tadinya duduk di sampingku mengeluarkan uang logam dan melentingkannya ke besi korden yang tergantung di sisi kanan kiri bis kota. Bis berhenti. Orang itu turun di pertigaan. Seorang kenek dari tadi mondar-mandir dari pintu depan ke belakang. Di tangannya terbeber beberapa lembar uang kertas. Dan yang satunya lagi menggerincinkan uang logam sambil berkata ”Karcis baru! Karcis baru!” kapada segenap penumpang.
Tadinya, ketika perempuan itu gelisah setelah naik ke dalam bis karena tidak kebagian tempat duduk, mau aku tawarkan dia untuk menggantikan tempat dudukku. Tapi urung aku lakukan. Aku saja baru mendapat tempat duduk dan bisa bernafas lega ketika penumpang yang tadinya duduk di tempat yang saat ini aku duduki melangkah ke depan beranjak turun. Segera aku gantikan posisinya. Tidak jauh kemudian, setelah bis yang aku tumpangi menurunkannya, bis itu berhenti lagi, setelah sopir melihat seorang calon penumpang melambaikan tangannya di kejauhan. Ya. Seorang perempuan. Masuklah perempuan itu. Dia mengarahkan pandangannya ke semua arah. Dan saat itulah kegelisahannya mulai muncul. Di benakku rasa kasihan dan pertimbangan jauhnya tempat yang aku tuju bertarung. Dan hasilnya aku memutuskan untuk diam saja membiarkan perempuan itu berdiri.
Sepanjang perjalanan belum ada satu penumpangpun yang beranjak dari tempat duduknya. Dan perempuan itu masih tetap berdiri tidak jauh di depanku. Keringat basah mengalir di wajahnya. Sesekali dia mengeluarkan tisue mengelapnya sambil menggerai-geraikan rambutnya yang kecokelat-cokelatan. Di bahunya, sebuah tas tersanggul. Aku pikir isinya pasti benda-benda komestik yang dia pakai. Biasalah perempuan zaman sekarang selalu marasa harus menjaga penampilan. Terutama di bagian-bagian sensitifnya. Wajahnya.
Malam hari.
Kegelapan kota tidak terlalu nampak.
Dua pengamen baru saja turun. Senang sekali aku mendengar liriknya, walau menurutku dan mungkin juga penumpang lain yang saat itu turut mendengarkan, kurang begitu mengenakkan telinga. Karena terkadang grip yang digunakan kurang begitu sesuai dengan lagunya. Tapi tidak ada alasan bagiku untuk tidak menghargainya. Aku salut kepada mereka. Semangatnya masuk ke dalam diriku. Menjegal segala perasaan tak enak untuk memberikan julukan peminta-minta bagi mereka. Keluarlah dari kantongku uang seribuan sebagai bentuk penghargaan bagi semangatnya yang telah mengguruiku. Sekaligus imbalan yang, selalu diharapkan datang dari setiap penumpang yang ada.
Bis melaju cepat. Kadang juga pelan ketika beradu dengan kendaraan lain. Saat itulah aku tidak merasa berada di atas bis. Seperti menunggangi seekor keledai. Apalagi ketika terjebak macet. Polusi merebak ke mana-mana. Udara kota menjadi tak sedap. Sebagian udara yang dihirup bercampur asap knalpot. Tapi semua tak terlalu nampak bila malam hari. Karena dikalahkan oleh lampu-lampu gedung-gedung raksasa yang memancar kuat ke semua penjuru kota.
Di saat-saat itulah perempuan itu datang kembali. Membebaskan semua pemandangan kota yang mengikutiku. Di lehernya keringat kuyup mengalir. Dia kelihatan lelah berdiri. Wajahnya berminyak. Sehingga pantulan lampu bis yang menerangi para penumpang, masuk ke dalamnya. Ingin sekali aku menawarkannya untuk menggantikanku. Tapi aku juga sangat lelah setelah seharian mengurusi persiapan training untuk besok. Belum lagi rasa gerah yang menelanjangiku. Sedangkan bis terlalu sesak. Aku sangat malas berdiri dalam keadaan berdesakan. Apalagi kalau ada penjaja jajanan yang berjalan menyesaki penumpang. Dompetku juga pernah hilang dalam situasi seperti itu. Orang-orang kota sulit dipercaya. Ah, sudahlah! Memang dia itu siapa? Saudara bukan. Teman bukan.
Hidup di kota, seolah membebaskanku untuk bertoleransi kepada siapapun. Karena orang-orang di dalamnya yang mengajarkan demikian. Dulu pertama kali aku diam di kontrakan yang sampai sekarang aku tempati, aku selalu permisi ketika lewat di depan orang. Tapi mereka tak pernah kenghiraukan keberadaanku. Sampai di banyak kesempatanpun demikian. Akhirnya tidak lagi aku membudayakan adat yang aku bawa dari kampung itu. Terlalu mahal untuk orang-orang kota. Sungguh terlalu!
Seorang penumpang yang duduk bersampingan denganku berdiri. Seperti menerka tempat yang ditujunya tidak lagi jauh. Penumpang itu semakin meyakinkanku seletah ia mengetuk atap bis kota. Bispun berhenti. Penumpang itu turun dengan segera. Jarak perempuan itu tidak jauh dariku. Dia berdiri di samping depan penumpang yang duduk bersampingan denganku yang baru saja turun. Sehingga memudahkan dia duduk menggantikan posisinya dari para penumpang lainnya yang berdiri. Dan kini perempuan itu duduk bersampingan denganku. Akupun lega. Mungkin juga dia.
Di seberang jalan, mobil-mobil mewah berjalan tampak seperti tak berkemudi. Namun bunyi klakson yang mirip ritmis di tengah kota semakin meyakinkanku bahwa orang-orang yang ada di dalamnya tampak gelisah menghadapi kemacetan. Suasana seperti itu kadang juga membuatku tercekik. Apalagi para pengemudi itu! Mereka pasrti ingin segera terbebas dan samapai di tempat yang dituju; dimana rekan kerja mereka sudah menunggu untuk meresmikan proyek, atau keluarga mereka menunggu kehadirannya untuk dinner bersama, atau barang-barang yang dibawa oleh para sopir kontainer dengan ukuran berat harus sampai ke tempat-tempat industri tepat waktu, dan atau-atau yang lain, termasuk juga alasanku takut sampai di rumah terlalu larut dan istriku kembali mengomeliku dengan semua isi kebun binatang yang keluar dari mulutnya. Dan saat itulah sekelumit permasalahan akan menambah beban hidup.
Lampu-lampu jalanan merangsang mataku untuk mengikutinya. Kualirkan pandanganku kemana-mana. Ke arah jendela yang mirip bingkai lukisan. Di dalamnya para pengamen dan pengemis berdansa sambil menyanyikan lagu kehidupannya di atas trotoar. Tanpa kesadaran, aku alihkan pandanganku ke lain arah. Aku marasa ada yang sedang memandangiku sedari lama. Bukan tanpa alasan aku berkesimpulan. Karena, ketika aku mencoba mengikuti arah datangnya pandangan itu, orang itu ikut-kutan memalingkan pandangannya ke arah lain yang berlawanan. Orang itu. Perempuan itu.
Perempuan itu seolah salah tingkah. Disadarinya mungkin kalau perbuatannya diketahui olehku. Melihat wajahnya yang bingung, aku tertawa dalam hati. Geli sekali.
”Maaf!” tuturnya agak sedikit ragu. Lalu dalam keraguannya, dia teruskan ucapannya ”Bisa pinjami saya korek!”
Aku memang bukan seorang perokok. Tapi aku ingat kalau tadi sebelum pulang dari kantor aku menemukan sebuah korek yang tertinggal di toilet. Mungkin milik teman sekantorku yang tertinggal. Karyawan di kantorku hanya bisa merokok bila dilakukan di toilet. Kalau sampai ketahuan merokok di ruang kerja, maka siap-siaplah ia berhadapan dengan bapak Arifin, atasan kami. Bahkan dulu ada karyawan yang dinon-aktifkan gara-gara melanggar disiplin kantor tersebut.
Akhirnya tanpa panjang lebar, aku merogoh ke dalam sakuku. Ternyata memang masih ada. Segera aku berikan kepadanya.
Tangannya menyambut. Sedang yang satunya mengeluarkan sebatang rokok dari kotaknya dan mengarahkan ke bibirnya. Dia nyalakan. Dihirupnya asap rokok itu lalu dikeluarkan kembali sambil melihat api di ujung rokoknya kalau-kalau masih kurang menyala. Ternyata benar. ditariknya kembali pegas korek itu. Setelah api menyala cukup merah, dia mengembalikan korek itu. ”Terimakasih!” Balasnya.
Asap mengepul ke mana-mana. Mirip awan dengan segala macamnya. Ada juga yang berbentuk lingkaran.
”Rokok!” Tawarnya sambil mengangkat sebatang dari kotak rokok berwarna putih di tangannya.
”Terimakasih. Maaf, saya tidak merokok”. Tolakku halus tanpa menyinggung perasaannya.
”Oh ya, apa saya mengganggu?”
”Tidak! Silahkan kamu teruskan saja”.
”Tapi…, maaf, mengapa saudara bisa menyimpan korek api kalau tidak merokok?”
”Saya menemukannya di toilet kantor sebelum saya pulang tadi sore. Tadinya mau saya simpan di meja. Tapi malah terbawa”
”Jadi saudara kerja di kantor. Di mana?” Perempuan itu semakin jauh bertanya tentangku.
”Di perusahaan IT. Dekat pasar rumput. Kamu?”
Perempuan itu seperti menyembunyikan sesuatu. Tampak dari raut wajahnya. Seperti sedang berpikir panjang untuk menjawab pertanyaanku. Tak ingin diketahuinya mungkin apa pekerjaannya. Mungkin saja dia sales suatu produk perusahaan. Sales kok merokok. Ah sudahlah. Segera kualihkan arah pembicaraanku.
”Sudah lama di Jakarta?”
”Lumayan. Ada sekitar tiga tahun.”
”Kos, atau tinggal dengan… ” aku tidak meneruskan perkataanku. Karena lwana bicaraku seperti memeriksa sesuatu di dalam tasnya. Setelah diketahuinya kalau barang itu ada, perempuan itu segera balik tanya kepadaku.
”Oh ya, maaf tadi saudara mau bilang apa?”
Ternyata benar. Perempuan itu tadi tidak memperhatikan ucapanku barang sehurufpun. Terpaksa aku mengulangi pertanyaanku tadi. Kemudian dia menjawab.
”Aku tinggal di kos bersama teman-teman. Kalo ada waktu mapirlah. Dekat kok di jalan Pemuda dekat terminal. Tuh, sudah kelihatan. Oh, ya saya Lusi. Kalo memang mau mampir nanti telpon saja. Biar nanti gak kesasar. Nomor handphoneku ada di kartu nama ini. Terima kasih ya, koreknya.” Kemudian perempuan itu turun sambil menghisap rokoknya dalam sekali. Setelah itu membuang rokok yang masih baru terbakar sebagian itu. Dia tampak ragu-ragu memilih arah yang mau dilaluinya. Namun kemudian melangkah juga kakinya ke suatu arah. Aku juga tidak tahu ke arah mana. Karena memang di daerah itu aku masih bingung memahami arah mata angin.
Malam masih malam yang sama. Hanya saja jarum jam arlojiku sudah berubah letaknya. Yang bisa aku banyangkan saat ini adalah istriku yang sedang menungguku sambil membaca majalah. Atau kalau tidak menyaksikan tayangan televisi. Dia memang sangat perhatian kepadaku. Kalaupun dia marah, aku yakin bukan karena ia benci kepadaku. Ia takut aku ke mana-mana. Tak mau kejadian yang dialami Sukri, tetangga depan rumah kami terjadi padaku. Sampai istrinya minta untuk diceraikan. Hanya satu gara-garanya. Sukri selalu pulang malam. Bukan cuma sekali. Bahkan hampir setiap hari. Lama istrinya berdiam diri. Tak tahan juga akhirnya. Diikutinya Sukri ketika berangkat. Sampai kemudian turun dari angkot. Masuk di sebuah gang. Menuju rumah di seberang jalan. Kemudian memilih kamar rumah paling ujung. Saat itulah istrinya tahu apa yang selama ini Sukri perbuat.
Bis merambat cukup cepat, membuat pohon-pohon pinggir jalan berlari ke belakang berlawanan arus denganku. Namun hanya sebentar. Jakarta tetap saja kota sesak kendaraan. Walaupun malam hari.
Bis kemudian berhenti. Diikuti kendaraan yang lain. Sudah sampai lampu merah yang sudah tidak asing bagiku. Berarti tidak lama lagi aku akan sampai di rumah. Kurang lebih dua menit lagi. Itupun kalau tidak ada hambatan apa-apa.
Kenek yang biasanya berteriak, bertanya tentang penumpang baru, hanya lewat tanpa suara. Mungkin karena ia tahu kalau penumpang yang baru saja naik duduk di belakang. Dan memang hanya satu orang. Jadi kenek itu tidak bingung lagi.
Kemudian kenek itu menyebut-nyebut nama suatu tempat. Akupun tahu apa yang harus aku lakukan. Kenek itu melentingkan uang logam ke besi korden. Bis yang tadinya laju semakin pelan. Lalu berhenti. Akupun turun.
Aku melangkah masuk ke sebuah gang. Tentu istriku sedang menungguku. Aku belikan dia terang bulan berniat membuatnya gembira. Sambil juga mengingat-ingat masa lalu ketika kami masih pacaran. Dia suka sekali kalo habis nonton mampir ke warung dorong penjual terang bulan. Bahkan pernah suatu ketika aku hanya disisakan sepotong saja. Aku hanya tertawa sambil meledeknya. Sungguh memori yang mengesankan.
Penjual terang bulan segera membungkus terang bulan yang aku pesan. Setelah membayar mau aku masukkan terang bulan itu ke dalam tas. Ternyata tidak muat. Terpaksa aku tenteng bungkusan terang bulan itu sambil terus melanjutkan langkah.
Sampai di depan rumah, lampu masih dihidupkan. Berarti istriku belum tidur. Aku mencoba menekan daun jendela, ternyata memang masih tidak terkunci. Suara televisi yang menyala itu semakin membuatku yakin tahu apa yang sedang dilakukan istriku. Aku melangkah ke ruang tengah. Dia memang masih di situ.
”Terang bulan ya! Terima kasih ya mas.” Katanya ramah. Lalu membawakan tas dan membukakan sepatuku. Diletakkan semuanya di tempat biasa.
Dia kebelang. Segera dibuatkannya aku teh hangat. Akupun menikmatinya. Juga menikmati terang bulan yang aku beli sebagai cuci mulut setelah kami selesai makan malam.
Malam tambah garang. Apalagi setelah kumatikan lampu di seluruh ruangan.
***
Pagi-pagi sekali, aku mendengar percakapan dua orang di rumahku. Yang satu aku yakin benar mengenalnya. Itu suara istriku sendiri. Tapi yang satunya? Karena penasaran, aku segera keluar kamar. Ternyata itu adalah istri si Sukri yang sedang membantu istriku membuat kue untuk selamatan. Mereka berdua senang sekali ngerumpi. Apalagi Istri Sukri. Dia selalu menjelek-jelekkan suaminya yang telah berbuat serong. Dia ceritakan semua kepada istriku dari awal hingga akhir. Padahal, sudah beberapa kali istriku mendengar ceritanya. Sampai kemudian istriku menceritakan kejadian itu kepadaku. Dia juga bilang males kalo mendengar istri Sukri membicarakan suaminya. Karena memang ceritanya itu-itu saja. Tidak berubah. Mungkin karena sangat benci dia kepada suaminya. Akupun menyarankan kepada istriku untuk pura-pura mendengarkan saja. Untuk menghargai pembicaraannya lah. Jadi aku kira istriku saat itu tidak benar-benar menyimak cerita yang dilontarkan oleh istri Sukri.
”Bener che, saya melihatnya sendiri. Dia masuk kamar. Seorang wanita menunggu di dalam. Terus saya tidak berani lagi mengikutinya sampai ke kamar. Tapi saya kenal sekali wajahnya. Saya juga sering melihat dia di terminal kalo mau pergi ke pasar. Saya do’ain kualat suami saya itu.” Istri Sukri berkata dengan gaya gerak tubuhnya yang khas. Yang diajak bicara hanya mengangguk saja sambil mengaduk adonan. Aku hanya bisa tertawa melihatnya. Istriku juga ketika melirik ke arahku pura-pura menyaksikan tayangan televisi yang baru aku nyalakan.
Setelah berita tentang terbakarnya pasar Turi di Surabaya, kemudian Berita Pagi berpindah ke lain kejadian. Wanita pembaca berita itu menyebutkan; ”Dalam operasi malam, kali ini polisi berhasil menangkap salah seorang pengedar sabu-sabu. Pelakunya adalah seorang wanita. Polisi berhasil menemukan 50 gram sabu-sabu di dalam tasnya ketika dia mau menemui salah seorang pelanggannya. Wanita ini memang sudah lama menjadi incaran polisi. Sebulan yang lalu, dia juga pernah ditangkap karena diduga bersekongkol dengan Edu. Karena tidak ada bukti, polisi terpaksa melepaskannya…”
Pembaca berita itu belum selesai membaca beritanya. Tapi semua mata sudah tertuju ke arah kotak bergambar itu. Setelah selesai, muncullah gambar seorang wanita yang sedang diinterogasi oleh pihak kepolisian. Mula-mula istri Sukri menatap wanita dalam televisi itu dalam-dalam. Seperti ingin tahu dengan jelas mukanya. Setelah itu,
”Itu dia che’ wanita yang seringkali saya ceritakan. Rasain lo. Benar, dia yang saya lihat menunggu suami saya di kamar itu. Semoga dia dihukum mati sekalian. Biar saya saja yang menjadi korban, che. Asal jangan istri-istri yang lain.” Suara istri Sukri seperti kereta. Istriku seperti juga setuju dengan kutukan-kutukan yang dilontarkan.
”Ya, Tuhan telah membalas semuanya.”
”Benar, che!”
Aku juga menyaksikan wajah itu dengan seksama. Ingin tahu seperti apa wanita yang telah merusak rumah tangga Sukri. Semakin aku tatap, wajah itu semakin aku kenal. Tapi aku lupa. Kapan? Di mana?
Aku tertawa ringan.
Wanita itu. Rambut itu. Tas itu. Keringat itu.
Jakarta, 01 september 2007
Perempuan yang tadinya berdiri tegak di depanku, kini duduk di samapingku selepas salah seorang penumpang yang tadinya duduk di sampingku mengeluarkan uang logam dan melentingkannya ke besi korden yang tergantung di sisi kanan kiri bis kota. Bis berhenti. Orang itu turun di pertigaan. Seorang kenek dari tadi mondar-mandir dari pintu depan ke belakang. Di tangannya terbeber beberapa lembar uang kertas. Dan yang satunya lagi menggerincinkan uang logam sambil berkata ”Karcis baru! Karcis baru!” kapada segenap penumpang.
Tadinya, ketika perempuan itu gelisah setelah naik ke dalam bis karena tidak kebagian tempat duduk, mau aku tawarkan dia untuk menggantikan tempat dudukku. Tapi urung aku lakukan. Aku saja baru mendapat tempat duduk dan bisa bernafas lega ketika penumpang yang tadinya duduk di tempat yang saat ini aku duduki melangkah ke depan beranjak turun. Segera aku gantikan posisinya. Tidak jauh kemudian, setelah bis yang aku tumpangi menurunkannya, bis itu berhenti lagi, setelah sopir melihat seorang calon penumpang melambaikan tangannya di kejauhan. Ya. Seorang perempuan. Masuklah perempuan itu. Dia mengarahkan pandangannya ke semua arah. Dan saat itulah kegelisahannya mulai muncul. Di benakku rasa kasihan dan pertimbangan jauhnya tempat yang aku tuju bertarung. Dan hasilnya aku memutuskan untuk diam saja membiarkan perempuan itu berdiri.
Sepanjang perjalanan belum ada satu penumpangpun yang beranjak dari tempat duduknya. Dan perempuan itu masih tetap berdiri tidak jauh di depanku. Keringat basah mengalir di wajahnya. Sesekali dia mengeluarkan tisue mengelapnya sambil menggerai-geraikan rambutnya yang kecokelat-cokelatan. Di bahunya, sebuah tas tersanggul. Aku pikir isinya pasti benda-benda komestik yang dia pakai. Biasalah perempuan zaman sekarang selalu marasa harus menjaga penampilan. Terutama di bagian-bagian sensitifnya. Wajahnya.
Malam hari.
Kegelapan kota tidak terlalu nampak.
Dua pengamen baru saja turun. Senang sekali aku mendengar liriknya, walau menurutku dan mungkin juga penumpang lain yang saat itu turut mendengarkan, kurang begitu mengenakkan telinga. Karena terkadang grip yang digunakan kurang begitu sesuai dengan lagunya. Tapi tidak ada alasan bagiku untuk tidak menghargainya. Aku salut kepada mereka. Semangatnya masuk ke dalam diriku. Menjegal segala perasaan tak enak untuk memberikan julukan peminta-minta bagi mereka. Keluarlah dari kantongku uang seribuan sebagai bentuk penghargaan bagi semangatnya yang telah mengguruiku. Sekaligus imbalan yang, selalu diharapkan datang dari setiap penumpang yang ada.
Bis melaju cepat. Kadang juga pelan ketika beradu dengan kendaraan lain. Saat itulah aku tidak merasa berada di atas bis. Seperti menunggangi seekor keledai. Apalagi ketika terjebak macet. Polusi merebak ke mana-mana. Udara kota menjadi tak sedap. Sebagian udara yang dihirup bercampur asap knalpot. Tapi semua tak terlalu nampak bila malam hari. Karena dikalahkan oleh lampu-lampu gedung-gedung raksasa yang memancar kuat ke semua penjuru kota.
Di saat-saat itulah perempuan itu datang kembali. Membebaskan semua pemandangan kota yang mengikutiku. Di lehernya keringat kuyup mengalir. Dia kelihatan lelah berdiri. Wajahnya berminyak. Sehingga pantulan lampu bis yang menerangi para penumpang, masuk ke dalamnya. Ingin sekali aku menawarkannya untuk menggantikanku. Tapi aku juga sangat lelah setelah seharian mengurusi persiapan training untuk besok. Belum lagi rasa gerah yang menelanjangiku. Sedangkan bis terlalu sesak. Aku sangat malas berdiri dalam keadaan berdesakan. Apalagi kalau ada penjaja jajanan yang berjalan menyesaki penumpang. Dompetku juga pernah hilang dalam situasi seperti itu. Orang-orang kota sulit dipercaya. Ah, sudahlah! Memang dia itu siapa? Saudara bukan. Teman bukan.
Hidup di kota, seolah membebaskanku untuk bertoleransi kepada siapapun. Karena orang-orang di dalamnya yang mengajarkan demikian. Dulu pertama kali aku diam di kontrakan yang sampai sekarang aku tempati, aku selalu permisi ketika lewat di depan orang. Tapi mereka tak pernah kenghiraukan keberadaanku. Sampai di banyak kesempatanpun demikian. Akhirnya tidak lagi aku membudayakan adat yang aku bawa dari kampung itu. Terlalu mahal untuk orang-orang kota. Sungguh terlalu!
Seorang penumpang yang duduk bersampingan denganku berdiri. Seperti menerka tempat yang ditujunya tidak lagi jauh. Penumpang itu semakin meyakinkanku seletah ia mengetuk atap bis kota. Bispun berhenti. Penumpang itu turun dengan segera. Jarak perempuan itu tidak jauh dariku. Dia berdiri di samping depan penumpang yang duduk bersampingan denganku yang baru saja turun. Sehingga memudahkan dia duduk menggantikan posisinya dari para penumpang lainnya yang berdiri. Dan kini perempuan itu duduk bersampingan denganku. Akupun lega. Mungkin juga dia.
Di seberang jalan, mobil-mobil mewah berjalan tampak seperti tak berkemudi. Namun bunyi klakson yang mirip ritmis di tengah kota semakin meyakinkanku bahwa orang-orang yang ada di dalamnya tampak gelisah menghadapi kemacetan. Suasana seperti itu kadang juga membuatku tercekik. Apalagi para pengemudi itu! Mereka pasrti ingin segera terbebas dan samapai di tempat yang dituju; dimana rekan kerja mereka sudah menunggu untuk meresmikan proyek, atau keluarga mereka menunggu kehadirannya untuk dinner bersama, atau barang-barang yang dibawa oleh para sopir kontainer dengan ukuran berat harus sampai ke tempat-tempat industri tepat waktu, dan atau-atau yang lain, termasuk juga alasanku takut sampai di rumah terlalu larut dan istriku kembali mengomeliku dengan semua isi kebun binatang yang keluar dari mulutnya. Dan saat itulah sekelumit permasalahan akan menambah beban hidup.
Lampu-lampu jalanan merangsang mataku untuk mengikutinya. Kualirkan pandanganku kemana-mana. Ke arah jendela yang mirip bingkai lukisan. Di dalamnya para pengamen dan pengemis berdansa sambil menyanyikan lagu kehidupannya di atas trotoar. Tanpa kesadaran, aku alihkan pandanganku ke lain arah. Aku marasa ada yang sedang memandangiku sedari lama. Bukan tanpa alasan aku berkesimpulan. Karena, ketika aku mencoba mengikuti arah datangnya pandangan itu, orang itu ikut-kutan memalingkan pandangannya ke arah lain yang berlawanan. Orang itu. Perempuan itu.
Perempuan itu seolah salah tingkah. Disadarinya mungkin kalau perbuatannya diketahui olehku. Melihat wajahnya yang bingung, aku tertawa dalam hati. Geli sekali.
”Maaf!” tuturnya agak sedikit ragu. Lalu dalam keraguannya, dia teruskan ucapannya ”Bisa pinjami saya korek!”
Aku memang bukan seorang perokok. Tapi aku ingat kalau tadi sebelum pulang dari kantor aku menemukan sebuah korek yang tertinggal di toilet. Mungkin milik teman sekantorku yang tertinggal. Karyawan di kantorku hanya bisa merokok bila dilakukan di toilet. Kalau sampai ketahuan merokok di ruang kerja, maka siap-siaplah ia berhadapan dengan bapak Arifin, atasan kami. Bahkan dulu ada karyawan yang dinon-aktifkan gara-gara melanggar disiplin kantor tersebut.
Akhirnya tanpa panjang lebar, aku merogoh ke dalam sakuku. Ternyata memang masih ada. Segera aku berikan kepadanya.
Tangannya menyambut. Sedang yang satunya mengeluarkan sebatang rokok dari kotaknya dan mengarahkan ke bibirnya. Dia nyalakan. Dihirupnya asap rokok itu lalu dikeluarkan kembali sambil melihat api di ujung rokoknya kalau-kalau masih kurang menyala. Ternyata benar. ditariknya kembali pegas korek itu. Setelah api menyala cukup merah, dia mengembalikan korek itu. ”Terimakasih!” Balasnya.
Asap mengepul ke mana-mana. Mirip awan dengan segala macamnya. Ada juga yang berbentuk lingkaran.
”Rokok!” Tawarnya sambil mengangkat sebatang dari kotak rokok berwarna putih di tangannya.
”Terimakasih. Maaf, saya tidak merokok”. Tolakku halus tanpa menyinggung perasaannya.
”Oh ya, apa saya mengganggu?”
”Tidak! Silahkan kamu teruskan saja”.
”Tapi…, maaf, mengapa saudara bisa menyimpan korek api kalau tidak merokok?”
”Saya menemukannya di toilet kantor sebelum saya pulang tadi sore. Tadinya mau saya simpan di meja. Tapi malah terbawa”
”Jadi saudara kerja di kantor. Di mana?” Perempuan itu semakin jauh bertanya tentangku.
”Di perusahaan IT. Dekat pasar rumput. Kamu?”
Perempuan itu seperti menyembunyikan sesuatu. Tampak dari raut wajahnya. Seperti sedang berpikir panjang untuk menjawab pertanyaanku. Tak ingin diketahuinya mungkin apa pekerjaannya. Mungkin saja dia sales suatu produk perusahaan. Sales kok merokok. Ah sudahlah. Segera kualihkan arah pembicaraanku.
”Sudah lama di Jakarta?”
”Lumayan. Ada sekitar tiga tahun.”
”Kos, atau tinggal dengan… ” aku tidak meneruskan perkataanku. Karena lwana bicaraku seperti memeriksa sesuatu di dalam tasnya. Setelah diketahuinya kalau barang itu ada, perempuan itu segera balik tanya kepadaku.
”Oh ya, maaf tadi saudara mau bilang apa?”
Ternyata benar. Perempuan itu tadi tidak memperhatikan ucapanku barang sehurufpun. Terpaksa aku mengulangi pertanyaanku tadi. Kemudian dia menjawab.
”Aku tinggal di kos bersama teman-teman. Kalo ada waktu mapirlah. Dekat kok di jalan Pemuda dekat terminal. Tuh, sudah kelihatan. Oh, ya saya Lusi. Kalo memang mau mampir nanti telpon saja. Biar nanti gak kesasar. Nomor handphoneku ada di kartu nama ini. Terima kasih ya, koreknya.” Kemudian perempuan itu turun sambil menghisap rokoknya dalam sekali. Setelah itu membuang rokok yang masih baru terbakar sebagian itu. Dia tampak ragu-ragu memilih arah yang mau dilaluinya. Namun kemudian melangkah juga kakinya ke suatu arah. Aku juga tidak tahu ke arah mana. Karena memang di daerah itu aku masih bingung memahami arah mata angin.
Malam masih malam yang sama. Hanya saja jarum jam arlojiku sudah berubah letaknya. Yang bisa aku banyangkan saat ini adalah istriku yang sedang menungguku sambil membaca majalah. Atau kalau tidak menyaksikan tayangan televisi. Dia memang sangat perhatian kepadaku. Kalaupun dia marah, aku yakin bukan karena ia benci kepadaku. Ia takut aku ke mana-mana. Tak mau kejadian yang dialami Sukri, tetangga depan rumah kami terjadi padaku. Sampai istrinya minta untuk diceraikan. Hanya satu gara-garanya. Sukri selalu pulang malam. Bukan cuma sekali. Bahkan hampir setiap hari. Lama istrinya berdiam diri. Tak tahan juga akhirnya. Diikutinya Sukri ketika berangkat. Sampai kemudian turun dari angkot. Masuk di sebuah gang. Menuju rumah di seberang jalan. Kemudian memilih kamar rumah paling ujung. Saat itulah istrinya tahu apa yang selama ini Sukri perbuat.
Bis merambat cukup cepat, membuat pohon-pohon pinggir jalan berlari ke belakang berlawanan arus denganku. Namun hanya sebentar. Jakarta tetap saja kota sesak kendaraan. Walaupun malam hari.
Bis kemudian berhenti. Diikuti kendaraan yang lain. Sudah sampai lampu merah yang sudah tidak asing bagiku. Berarti tidak lama lagi aku akan sampai di rumah. Kurang lebih dua menit lagi. Itupun kalau tidak ada hambatan apa-apa.
Kenek yang biasanya berteriak, bertanya tentang penumpang baru, hanya lewat tanpa suara. Mungkin karena ia tahu kalau penumpang yang baru saja naik duduk di belakang. Dan memang hanya satu orang. Jadi kenek itu tidak bingung lagi.
Kemudian kenek itu menyebut-nyebut nama suatu tempat. Akupun tahu apa yang harus aku lakukan. Kenek itu melentingkan uang logam ke besi korden. Bis yang tadinya laju semakin pelan. Lalu berhenti. Akupun turun.
Aku melangkah masuk ke sebuah gang. Tentu istriku sedang menungguku. Aku belikan dia terang bulan berniat membuatnya gembira. Sambil juga mengingat-ingat masa lalu ketika kami masih pacaran. Dia suka sekali kalo habis nonton mampir ke warung dorong penjual terang bulan. Bahkan pernah suatu ketika aku hanya disisakan sepotong saja. Aku hanya tertawa sambil meledeknya. Sungguh memori yang mengesankan.
Penjual terang bulan segera membungkus terang bulan yang aku pesan. Setelah membayar mau aku masukkan terang bulan itu ke dalam tas. Ternyata tidak muat. Terpaksa aku tenteng bungkusan terang bulan itu sambil terus melanjutkan langkah.
Sampai di depan rumah, lampu masih dihidupkan. Berarti istriku belum tidur. Aku mencoba menekan daun jendela, ternyata memang masih tidak terkunci. Suara televisi yang menyala itu semakin membuatku yakin tahu apa yang sedang dilakukan istriku. Aku melangkah ke ruang tengah. Dia memang masih di situ.
”Terang bulan ya! Terima kasih ya mas.” Katanya ramah. Lalu membawakan tas dan membukakan sepatuku. Diletakkan semuanya di tempat biasa.
Dia kebelang. Segera dibuatkannya aku teh hangat. Akupun menikmatinya. Juga menikmati terang bulan yang aku beli sebagai cuci mulut setelah kami selesai makan malam.
Malam tambah garang. Apalagi setelah kumatikan lampu di seluruh ruangan.
***
Pagi-pagi sekali, aku mendengar percakapan dua orang di rumahku. Yang satu aku yakin benar mengenalnya. Itu suara istriku sendiri. Tapi yang satunya? Karena penasaran, aku segera keluar kamar. Ternyata itu adalah istri si Sukri yang sedang membantu istriku membuat kue untuk selamatan. Mereka berdua senang sekali ngerumpi. Apalagi Istri Sukri. Dia selalu menjelek-jelekkan suaminya yang telah berbuat serong. Dia ceritakan semua kepada istriku dari awal hingga akhir. Padahal, sudah beberapa kali istriku mendengar ceritanya. Sampai kemudian istriku menceritakan kejadian itu kepadaku. Dia juga bilang males kalo mendengar istri Sukri membicarakan suaminya. Karena memang ceritanya itu-itu saja. Tidak berubah. Mungkin karena sangat benci dia kepada suaminya. Akupun menyarankan kepada istriku untuk pura-pura mendengarkan saja. Untuk menghargai pembicaraannya lah. Jadi aku kira istriku saat itu tidak benar-benar menyimak cerita yang dilontarkan oleh istri Sukri.
”Bener che, saya melihatnya sendiri. Dia masuk kamar. Seorang wanita menunggu di dalam. Terus saya tidak berani lagi mengikutinya sampai ke kamar. Tapi saya kenal sekali wajahnya. Saya juga sering melihat dia di terminal kalo mau pergi ke pasar. Saya do’ain kualat suami saya itu.” Istri Sukri berkata dengan gaya gerak tubuhnya yang khas. Yang diajak bicara hanya mengangguk saja sambil mengaduk adonan. Aku hanya bisa tertawa melihatnya. Istriku juga ketika melirik ke arahku pura-pura menyaksikan tayangan televisi yang baru aku nyalakan.
Setelah berita tentang terbakarnya pasar Turi di Surabaya, kemudian Berita Pagi berpindah ke lain kejadian. Wanita pembaca berita itu menyebutkan; ”Dalam operasi malam, kali ini polisi berhasil menangkap salah seorang pengedar sabu-sabu. Pelakunya adalah seorang wanita. Polisi berhasil menemukan 50 gram sabu-sabu di dalam tasnya ketika dia mau menemui salah seorang pelanggannya. Wanita ini memang sudah lama menjadi incaran polisi. Sebulan yang lalu, dia juga pernah ditangkap karena diduga bersekongkol dengan Edu. Karena tidak ada bukti, polisi terpaksa melepaskannya…”
Pembaca berita itu belum selesai membaca beritanya. Tapi semua mata sudah tertuju ke arah kotak bergambar itu. Setelah selesai, muncullah gambar seorang wanita yang sedang diinterogasi oleh pihak kepolisian. Mula-mula istri Sukri menatap wanita dalam televisi itu dalam-dalam. Seperti ingin tahu dengan jelas mukanya. Setelah itu,
”Itu dia che’ wanita yang seringkali saya ceritakan. Rasain lo. Benar, dia yang saya lihat menunggu suami saya di kamar itu. Semoga dia dihukum mati sekalian. Biar saya saja yang menjadi korban, che. Asal jangan istri-istri yang lain.” Suara istri Sukri seperti kereta. Istriku seperti juga setuju dengan kutukan-kutukan yang dilontarkan.
”Ya, Tuhan telah membalas semuanya.”
”Benar, che!”
Aku juga menyaksikan wajah itu dengan seksama. Ingin tahu seperti apa wanita yang telah merusak rumah tangga Sukri. Semakin aku tatap, wajah itu semakin aku kenal. Tapi aku lupa. Kapan? Di mana?
Aku tertawa ringan.
Wanita itu. Rambut itu. Tas itu. Keringat itu.
Jakarta, 01 september 2007