Herwan FR.
Lahir di Cerebon, 14 Juni 1971. Kumpulan puisinya : Peleburan Luka dan Hari-hari Perih. Novelnya : Bumi Perbatasan dan Mata Peremuan. Tercatat dalam Angkatan 2000, Malam Seribu Bulan, Datang Dari Masa Depan, Antologi Puisi Indonesia 1997, Leksikon Susastra Indonesia. Buku terbarunya : Apresiasi dan Kajian Puisi. Kini bekerja sebagai staf pengajar di Untirta Serang - Banten. Salah satu puisinya :
Setia Membidikmu
Demi pengakuan yang kelak kekal dan menyakitkan
aku setia membidikmu. Matamu menjadi kelereng
di atas lantai jiwa yang oleng oleh rindu yang dungu.
Sungsumku berhenti mermbeku. Aku kini lapar kembali
mencari kekasih. Tanganku menggenggam bukit,
menyentuh lahar yang ngalir di tiap kepundan gunung,
jari-jari merembah liar hutan-hutan tubuhmu.
Aku ingin menggambar lagi peta : daerah-daerah tak bertuan
Dan menjadi petualang pertama, menjelajah dengan perkasa.
Kulukis anak-anak di rahimmu dengan hidung panjang
seperti Pinokio, lalu kuhidupkan dengan bayangan,
dan kubiarkan berlarian menyusur
lereng-lereng betismu yang bagai bukit kapur
Dari keringat dan seribu gerak tubuhmu
aku pahami seribu cara bercinta. Lalu apalagi antara kau-aku,
guru-murid, setia bersulang dalam papa dan kegelapan ?
Demikian kuutarakan hasrat ini dengan kerongkongan
sedikit mau basah, jakun tertahan resah. Mataku
rabun oleh sudut lenganmu yang memijar.
Aku menjadi Ken Arok yang lumpuh
oleh betis Ken Dedes. Musnah dalam derajad pandang,
lurus menembus celah dadamu yang sempit dan menghimpit.
Lalu, aku nyala dan padam lagi-
Serang, 2005
Lahir di Cerebon, 14 Juni 1971. Kumpulan puisinya : Peleburan Luka dan Hari-hari Perih. Novelnya : Bumi Perbatasan dan Mata Peremuan. Tercatat dalam Angkatan 2000, Malam Seribu Bulan, Datang Dari Masa Depan, Antologi Puisi Indonesia 1997, Leksikon Susastra Indonesia. Buku terbarunya : Apresiasi dan Kajian Puisi. Kini bekerja sebagai staf pengajar di Untirta Serang - Banten. Salah satu puisinya :
Setia Membidikmu
Demi pengakuan yang kelak kekal dan menyakitkan
aku setia membidikmu. Matamu menjadi kelereng
di atas lantai jiwa yang oleng oleh rindu yang dungu.
Sungsumku berhenti mermbeku. Aku kini lapar kembali
mencari kekasih. Tanganku menggenggam bukit,
menyentuh lahar yang ngalir di tiap kepundan gunung,
jari-jari merembah liar hutan-hutan tubuhmu.
Aku ingin menggambar lagi peta : daerah-daerah tak bertuan
Dan menjadi petualang pertama, menjelajah dengan perkasa.
Kulukis anak-anak di rahimmu dengan hidung panjang
seperti Pinokio, lalu kuhidupkan dengan bayangan,
dan kubiarkan berlarian menyusur
lereng-lereng betismu yang bagai bukit kapur
Dari keringat dan seribu gerak tubuhmu
aku pahami seribu cara bercinta. Lalu apalagi antara kau-aku,
guru-murid, setia bersulang dalam papa dan kegelapan ?
Demikian kuutarakan hasrat ini dengan kerongkongan
sedikit mau basah, jakun tertahan resah. Mataku
rabun oleh sudut lenganmu yang memijar.
Aku menjadi Ken Arok yang lumpuh
oleh betis Ken Dedes. Musnah dalam derajad pandang,
lurus menembus celah dadamu yang sempit dan menghimpit.
Lalu, aku nyala dan padam lagi-
Serang, 2005