TEKS SULUH


Senin, 04 November 2013

PENYALURAN HASRAT BACA PUSI SEORANG SENIMAN/PENYAIR/PUJANGGA

Jangan disangka orang gila bila Anda melihat seseorang membaca puisi sendirian di tepi pantai, di bukit sambil memandang hamparan luas, di atas menara, di toilet, di kolong jembatan, di jembatan penyebrangan jalan tol di waktu malam dan di tempat tempat lainnya. Dan jangan disangka mereka orang katagori sableng , karena dari dandanannya bukan bukan orang gila/gembel/pengemis/pengamen, namun ia membaca puisi dikeramaian lalu-lalang orang. Dia membaca puisi di pasar, di pintu tangga jembatan penyebrangan, di jalan, di depan sebuah gedung atau di manapun tempat. 
Lalu ada seorang seniman mungkin juga penyair atau pujangga membuat sebuah pengalaman pribadi dikarenakan hasrat ingin mencoba dan merasakan pengalaman membaca puisi pas di pukul 00.00 tengah malam, membaca puisi di atas pohon, membaca puisi di sebuah truk yang sedang berjalan atau membaca puisi di atas gerbong kereta api.

Penyair Acep Syahril membaca puisi dari kantor ke kantor tanpa diminta bahkan di tertawakan orang, penyair Wayan Jengki Sunarta, membaca dan mencipta puisi di atas kuda yang melaju kencang, lalu banyak penyair yang ikut demo tolak kenaikan BBM dengan membaca puisi dan sebagainya. Bila direnungkan mungkin pertanyaannya , untuk apa? Toh tidak ada yang mendengarkan? Bila terpaksa seseorang mendengar beberapa kata/baris puisi itu juga malah segera menyingkir jauh. Karena mereka mendengar juga karena punya alat pendengaran. 

Lain lagi dengan Nurochman Sudibyo YS (Ki Tapa Kelana) hampir setiap minggu atau bulan diundang untuk membaca puisi di berbagai tempat. Seniman ini memang sudah profesional. Jika diundang membaca puisi tentu dengan mendapat imbalan jasa. Ia laris membaca puisi di berbagai tempat karena orang ingin tau sosok seniman ini, atau ada sesuatu yang membuat penonton atau undangan merasa disuguhi hiburan yang lain dari biasanya. Atau juga mungkin untuk menghormati seniman ini yang biasa dalam event-event sastra. Hal demikian dilakukan penyair ini karena ia membaca puisi tidak harus puisi ciptaannya namun membaca puisi karya-karya orang lain yang mungkin juga penyair yang mengundangnya. 

Apa yang dilakukan mereka semuanya dalam rangka pencarian 'sesuatu' yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata bahkan kata-kata pengakuan penyair itu, semua memiliki tujuan akan perolehan kepuasan dan temuan yang tak ternilai dari melakukan kegiatan-kegiatan seperti itu. Bagi Acep Syahril, dan Wayan Jengki Sunarta, dari melakukan itu ia akan memperoleh kepuasan tersendiri bahkan mungkin sesuatu bahan temuan yang tidak bisa diukur dengan rupiah. Sebaliknya bagi Nurochman Sudibyo YS (menurut pengakuannya) ia diundang untuk membaca puisi adalah sudah kehendakNya , rezeki yang telah diatur dari sononya. Karenanya ia tidak pernah mematok honor , namun seiklasnya orang memberi dari jasa membaca puisi itu. Tuhan membagi rezeki itu dengan seadil-adilnya pada hambanya. 

Penulis menghargai ketiga penyair itu, dalam prosesnya slalu membuat terobosan-terobosan untuk mendapatkan karya bermutu disamping kepuasan diri. Ketiganya kini menjadi sosok sastrawan yang mulai dikenal di seluruh Tanah Air dan bahkan merambah ke negeri tetangga. 

Lain sekarang lain juga dulu, dulu Rendra bagai 'burung merak' yang tak terkalahkan, boleh jadi karena tak ada pesaing dalam hal baca puisi. Atau karena peran media yang slalu menyoroti Rendra dan atau peran penyair kala itu yang memberikan kesempatan pada Rendra seluas luasnya. Kini Rendra akan tersenyum melihat deklamator indonesia , ia menemui banyak pesaingnya. Ada Leak Sosiawan, Nurochman Sudibyo YS dan lain-lain. 
(rg.bagus warsono 05-11-2013)