Gilang Teguh Pambudi
Sepotong Bangunan Masjid yang Masih Kokoh
gempa dan tsunami mengecup pipiku dengan tega
katanya cuma soal perbatasan
antara cinta yang sempurna dan cobaan
tetapi siapa bisa membendung airmata
yang kau sebut juga
telah meluluhlantakkan sebagian kerajaanmu?
maaf, dalam tenang pun aku lupa membayangkan
kerajaan gempa
kerajaan tsunami
yang sekarang dipimpin oleh raja ke berapa?
apalagi dalam tertekan dan marah-marah
mendengar televisi menyebut 40 nyawa mati
aku tak bisa bergerak
nyatanya kau meralatnya dengan kabar yang membakar
ribuan yang mati
oooo, palung laut
di mana tongkat sakti untuk memukul kepala raja gempa dan raja tsunami?
tetapi sekali lagi kau malah menghiba,
airmataku telah meluluhlantakkan sebagian kerajaanmu
lalu apa yang harus aku katakan
tentang kota-kotaku yang hilang?
kau mengecup keningku lagi
dengan daftar korban jiwa,
orang-orang luka berat dan puluhan ribu pengungsi
sambil berkata, "Allah merahmati kita"
dan aku nyaris tidak dengar
--- untung masih menangkap maksudnya---
lalu terhuyung-huyung di pantai yang kacau aku berteriak,
"Berarti sepotong bangunan mesjid yang masih kokoh itu
mempertahankan hidup dengan nyawa-nyawa yang pulang
yang ditangisi ibu bapaknya
yang ditangisi kakek neneknya
yang ditangisi suami-suaminya
yang ditangisi istri-istrinya
yang ditangisi anak cucunya
yang ditangisi guru-gurunya
yang ditangisi murid-muridnya
yang ditangisi teman-temannya
yang ditangisi kekasihnya
ya Allah, kesombongan apakah yang telah kuperbuat
sehingga doaku tidak mengamankan mereka
untuk melanjutkan hidup bersama?
atau, kau ingin mengatakan
mereka yang selamat telah pulang dengan tenang
justru kepada yang masih hidup
telah dititipkan duka kelakuannya
yang biadab kepada sesama dan lingkungannya?
untuk dipecahkannya di seluas bumi
seluas lautan?
ooohhh, malangnya!
hinanya!
Kemayoran, 09102018
Gilang Teguh Pambudi.
BAU BANGKAI RUPA MELATI
aku tidak terlalu percaya demokrasi hari ini
mblekethek lebih buruk dari tai sapi dan lumpur kimia di lantai rumah
seberapa hebatpun gundulmu menyanjungnya
tetapi aku percaya apapun namanya
termasuk yang disebut demokrasi yang sempurna
aku tidak percaya pada akal-akalan kalian
mblekethek bau bangkai rupa melati
seberapa hebatpun kalian mengakaliku
tetapi aku percaya pada akal sehat
termasuk yang kau yakini, sesungguhnya itu yang paling menentramkan
mengapa gila buta kalian pada kekuasaan?
membunuh kemanusiaan dengan cerita lucu kesejahteraan?
bahkan orang-orang baik kalian tunggangi
sehingga nampak buruk rupa?
hidup nestapa fitnah belaka?
Kemayoran, 06102018
Gilang Teguh Pambudi. Penyair yang penyiar. Menulis puisi, cerpen dan artikel sejak kelas satu SMP dan mulai dimuat koran sejak kelas satu SMA/SPGN. Profesional sebagai Orang Radio Indonesia sekaligus narasumber acara Apresiasi Senibudaya di radio-radio, sambil terus menekuni dunia sastra, teater dan menjadi guru gambar anak-anak. Itu sebabnya sering dipanggil untuk menjadi pembicara senibudaya dan jadi juri teater, puisi dan menggambar.
Sepotong Bangunan Masjid yang Masih Kokoh
gempa dan tsunami mengecup pipiku dengan tega
katanya cuma soal perbatasan
antara cinta yang sempurna dan cobaan
tetapi siapa bisa membendung airmata
yang kau sebut juga
telah meluluhlantakkan sebagian kerajaanmu?
maaf, dalam tenang pun aku lupa membayangkan
kerajaan gempa
kerajaan tsunami
yang sekarang dipimpin oleh raja ke berapa?
apalagi dalam tertekan dan marah-marah
mendengar televisi menyebut 40 nyawa mati
aku tak bisa bergerak
nyatanya kau meralatnya dengan kabar yang membakar
ribuan yang mati
oooo, palung laut
di mana tongkat sakti untuk memukul kepala raja gempa dan raja tsunami?
tetapi sekali lagi kau malah menghiba,
airmataku telah meluluhlantakkan sebagian kerajaanmu
lalu apa yang harus aku katakan
tentang kota-kotaku yang hilang?
kau mengecup keningku lagi
dengan daftar korban jiwa,
orang-orang luka berat dan puluhan ribu pengungsi
sambil berkata, "Allah merahmati kita"
dan aku nyaris tidak dengar
--- untung masih menangkap maksudnya---
lalu terhuyung-huyung di pantai yang kacau aku berteriak,
"Berarti sepotong bangunan mesjid yang masih kokoh itu
mempertahankan hidup dengan nyawa-nyawa yang pulang
yang ditangisi ibu bapaknya
yang ditangisi kakek neneknya
yang ditangisi suami-suaminya
yang ditangisi istri-istrinya
yang ditangisi anak cucunya
yang ditangisi guru-gurunya
yang ditangisi murid-muridnya
yang ditangisi teman-temannya
yang ditangisi kekasihnya
ya Allah, kesombongan apakah yang telah kuperbuat
sehingga doaku tidak mengamankan mereka
untuk melanjutkan hidup bersama?
atau, kau ingin mengatakan
mereka yang selamat telah pulang dengan tenang
justru kepada yang masih hidup
telah dititipkan duka kelakuannya
yang biadab kepada sesama dan lingkungannya?
untuk dipecahkannya di seluas bumi
seluas lautan?
ooohhh, malangnya!
hinanya!
Kemayoran, 09102018
Gilang Teguh Pambudi.
BAU BANGKAI RUPA MELATI
aku tidak terlalu percaya demokrasi hari ini
mblekethek lebih buruk dari tai sapi dan lumpur kimia di lantai rumah
seberapa hebatpun gundulmu menyanjungnya
tetapi aku percaya apapun namanya
termasuk yang disebut demokrasi yang sempurna
aku tidak percaya pada akal-akalan kalian
mblekethek bau bangkai rupa melati
seberapa hebatpun kalian mengakaliku
tetapi aku percaya pada akal sehat
termasuk yang kau yakini, sesungguhnya itu yang paling menentramkan
mengapa gila buta kalian pada kekuasaan?
membunuh kemanusiaan dengan cerita lucu kesejahteraan?
bahkan orang-orang baik kalian tunggangi
sehingga nampak buruk rupa?
hidup nestapa fitnah belaka?
Kemayoran, 06102018
Gilang Teguh Pambudi. Penyair yang penyiar. Menulis puisi, cerpen dan artikel sejak kelas satu SMP dan mulai dimuat koran sejak kelas satu SMA/SPGN. Profesional sebagai Orang Radio Indonesia sekaligus narasumber acara Apresiasi Senibudaya di radio-radio, sambil terus menekuni dunia sastra, teater dan menjadi guru gambar anak-anak. Itu sebabnya sering dipanggil untuk menjadi pembicara senibudaya dan jadi juri teater, puisi dan menggambar.