Saat ini, nyaris setengah abad yang lalu
saya dilahirkan di sebuah kampung kecil di utara tanggul pembatas kali anak
sungai Bengawan Solo, yang mengalir di selatan kota berjuluk “The Spirit of
Java” itu. Jarak kampung saya kira-kira hanya satu kilometer dari Kraton
Kasunanan yang lebih dikenal dengan sebutan Kraton Solo. Sekitar satu kilometer
di utara kraton itu terletak Kantor Walikota Surakarta sebagai pusat
pemerintahan. Sedangkan satu kilometer dari kraton tersebut ke arah barat laut,
berdiri Pura Mangkunegaran yang populer dengan nama Kraton Mangkunegaran.
Waktu itu, secara kultural kampung saya
(bersama sederet kampung lainnya) merupakan pembatas antara dua peradaban.
Peradaban kehidupan agraris masyarakat petani di selatan kali di satu sisi,
serta peradaban kehidupan masyarakat perkotaan di utara kali di sisi lainnya.
Meski demikian suasana kekerabatan yang akrab antar anggota masyarakat masih
terjaga dengan kental dan baik laiknya kekerabatan yang terjadi dalam
masyarakat pedesaan.
Kerja bakti untuk pembersihan, pembenahan
atau pembangunan infrastruktur publik serta fasilitas kampung, masih kerap
dilakoni secara gugur gunung (gotong-royong). Demikian juga kala ada salah
seorang warga yang tengah mengalami kesusahan atau bakal menggelar hajatan,
tanpa diminta hampir seluruh warga berbondong-bondong menyumbangkan tenaga dan
pikirannya, selain terkadang menyerahkan sebagian harta benda sebatas yang
diperlukan serta sesuai kemampuan. Ronda malam dan tongkrongan yang melibatkan
para pemuda, lelaki separuh baya, dan orang tua masih sering digelar di
beberapa sudut jalan, perempatan, dan ujung-ujung gang, menggantikan suasana
ngerumpi ibu-ibu dan perempuan di waktu (siang atau sore) sebelumnya. Para ibu
pun masih kerap bertukar sayuran kala mereka memasak lebih banyak dari
biasanya, lantaran rejeki yang agak meruah dari para suami mereka.
Kebanyakan jalan dan gang masih berupa
tanah. Berpadu dengan pagar bambu atau kayu yang dirangkai bersahaja (meski
kebanyakan warga gandrung ‘pagar hidup’ berupa rimbun tanaman dan semak
belukar), dinding rumah rata-rata masih menggunakan gedhek (anyaman bambu).
Hampir semua rumah memiliki halaman. Dan, hampir semua halaman ditanami
sepohon, dua pohon tanaman, entah tanaman keras seperti mangga, belimbing,
sawo, jambu, dan pohon kelapa atau semak berguna semacam kemangi, pandan, dan
lidah buaya. Ada juga beberapa halaman yang sudutnya ditanami tebu wulung
(untuk pelengkap ritual kala ada hajatan tertentu), pohon pisang atau mengkudu.
Itulah kenapa anak-anak di kala itu leluasa mengembangkan permainan kolektif
yang dominan mengeksplorasi gerak tubuh, sambil bermain petak umpet dan bermain
peran atau saling menguber dan berkejaran.
Satu hal yang kerap tak bisa terlupa dari
masa-kanak-kanak saya bersama kawan-kawan sebaya itu adalah ekspresi yang
energik dan gembira sepanjang pagi hingga petang terjaga. Bagi yang belum atau
tidak sekolah, saban hari nyaris tak ada waktu tersisa kecuali bermain dan
bersenang-senang, sambil mengembarai rute petualangan di seantero kampung.
Kadang-kadang kami menyusuri kali untuk berburu udang di balik bebatuan, cukup
dengan jari-jari dan kelincahan tangan. Di waktu-waktu lainnya, kami memancing
setelah buang hajat serta berlanjut ke acara mandi bersama di kali, siang atau
sore hari.
Hal lain yang tak gampang hilang dari
ingatan adalah celotehan kawan-kawan sebaya saat telanjang bersama; bersendau
gurau saling mencipratkan air, ‘bertempur’ dengan cara saling menekan kepala
lawan hingga tenggelam atau melakukan lomba renang selaku atlit kampungan.
Ocehan sekenanya ditimpali dengan umpatan-umpatan ‘kecil’ dan sederhana selalu
menambah suasana ceria, menggugah syaraf ketawa serta membuat pikiran dan hati
kian geli. Namun, meski masih berusia anak-anak, waktu itu kami cenderung dapat
membedakan mana celotehan dan umpatan yang boleh kami lontarkan, mana yang tak
layak kami ucapkan karena khusus diperuntukkan bagi mulut orang dewasa.
Kami pun mematuhi aturan tak terlulis
semacam itu, yang disampaikan dari mulut ke mulut oleh para orang tua dan
kakak-kakak kami yang telah meremaja atau digolongkan dalam usia dewasa.
Demikian pula halnya menyoal kata-kata dan istilah yang kami anggap ‘jorok’
manakala menyebut hal-hal yang berkaitan dengan alat kemaluan dan pernak-perniknya.
Ucapan jorok menurut pikiran kami kala itu adalah jika suatu kata atau istilah
diucapkan oleh anak-anak yang belum akhil balik. Namun anehya tanpa kami sadari
selalu ada kata-kata pengganti yang khusus dan boleh kami ucapkan, yang pada dasarnya
bermakna sama dengan kata atau istilah tertentu yang khusus hanya boleh
diucapkan oleh orang dewasa.
Jadilah kami memakai istilah manuk (burung)
untuk merujuk kata penis, tanpa pernah berani menggunakan kata peli yang
maknanya sama, namun cuma pantas diucapkan oleh orang dewasa. Sebagai
anak-anak, kami pun punya istilah khusus semacam pringsilan untuk menggantikan
zakar, berbeda dengan sinonimnya yang boleh diucapkan oleh orang dewasa saat
menyebut organ itu, yakni konthol. Kami juga hanya berani bilang bawuk untuk
merujuk vagina tanpa berani mengatakannya sebagai tempik atau turuk, karena
kedua kata terakhir itu hanya pantas dilontarkan orang dewasa, namun tak santun
diucapkan oleh bibir anak-anak. Hal tersebut kian memperoleh pembenaran dan penguatan,
kala saat itu beredar serial boneka berbahasa Jawa di TVRI (Stasiun Yogyakarta)
berjudul “Kuncung lan Bawuk” di mana tokoh utamanya adalah seorang anak
laki-laki bernama Kuncung dan adik perempuannya, Bawuk. Serial itu sangat
populer di kalangan anak-anak di kampung saya.
Meski secara tak sengaja kerap kali kami
mendengar ungkapan menyoal kemaluan dan pernak-perniknya dilontarkan oleh para
orang dewasa dengan menggunakan istilah-istilah yang telah pantas mereka
ucapkan (sesuai tataran usia), namun kami tak pernah berani meniru
mengucapkannya, apalagi menggunakannya dalam pergaulan sehari-hari bersama
teman-teman sebaya. Kami berpikir, belum saatnya kami memakai istilah-istilah
tersebut karena umur yang belum cukup. Kami masih anak-anak. Kami harus memakai
kata-kata serta istilah-istilah yang memang khusus untuk kami pergunakan dalam
obrolan sehari-hari sesuai dengan ‘setandar’ anak-anak.
Kalau ada seorang anak melanggar aturan tak
tertulis tersebut, maka ia akan mendapat marah yang luar biasa dari kedua orang
tua, saudara, kerabat, dan handai tolan. Tak menutup kemungkinan kabar tentang
pelanggaran ‘teritorial’ kebahasaan itu juga bakal didengar oleh orang seantero
kampung. Selanjutnya si anak berpotensi menerima ‘hadiah’ berupa pandangan aneh,
gunjingan, ‘interogerasi’ tiada henti dari orang-orang yang ia temui. Bahkan
anak itu berpeluang ‘ditempeli’ stigma negatip dalam jangka waktu panjang,
sebagi pelaku aksi ketidaksopanan. Ia bahkan bisa diboikot dari pergaulan oleh
teman-teman sebayanya, lantaran para orang tua tak lagi merelakan anaknya
bermain dengan anak yang dianggap ‘tercela’, lantaran mengucapkan kata-kata
atau istilah tertentu yang oleh karenanya dianggap bicara ‘jorok’ sebelum
waktunya.
Kini, lamat-lamat saya masih ingat, di kampung
saya dulu para ibu bersendau gurau dengan anak balitanya yang berjenis kelamin
laki-laki. Mengangkat-angkatnya sambil sesekali mengusap-usap, memegang-megang
hingga mempermainkan kemaluan sang anak, bahkan di depan orang banyak. Dengan
ritme yang dinamis dan artikulasi lucu, kebanyakan para ibu juga menembangkan
lirik berbunyi, “Tak giyong-giyong gandhul,...” berulang kali. Tak jelas benar
makna lirik berbahasa Jawa itu, selain secara umum merujuk kepada kemaluan sang
anak yang gelantungan dan bergoyang-goyang... (Sosiawan Leak)