TEKS SULUH


Kamis, 13 April 2017

Pengantar Antologi oleh Sosiawan Leak Teritorial Bahasa



   Saat ini, nyaris setengah abad yang lalu saya dilahirkan di sebuah kampung kecil di utara tanggul pembatas kali anak sungai Bengawan Solo, yang mengalir di selatan kota berjuluk “The Spirit of Java” itu. Jarak kampung saya kira-kira hanya satu kilometer dari Kraton Kasunanan yang lebih dikenal dengan sebutan Kraton Solo. Sekitar satu kilometer di utara kraton itu terletak Kantor Walikota Surakarta sebagai pusat pemerintahan. Sedangkan satu kilometer dari kraton tersebut ke arah barat laut, berdiri Pura Mangkunegaran yang populer dengan nama Kraton Mangkunegaran.

   Waktu itu, secara kultural kampung saya (bersama sederet kampung lainnya) merupakan pembatas antara dua peradaban. Peradaban kehidupan agraris masyarakat petani di selatan kali di satu sisi, serta peradaban kehidupan masyarakat perkotaan di utara kali di sisi lainnya. Meski demikian suasana kekerabatan yang akrab antar anggota masyarakat masih terjaga dengan kental dan baik laiknya kekerabatan yang terjadi dalam masyarakat pedesaan.

   Kerja bakti untuk pembersihan, pembenahan atau pembangunan infrastruktur publik serta fasilitas kampung, masih kerap dilakoni secara gugur gunung (gotong-royong). Demikian juga kala ada salah seorang warga yang tengah mengalami kesusahan atau bakal menggelar hajatan, tanpa diminta hampir seluruh warga berbondong-bondong menyumbangkan tenaga dan pikirannya, selain terkadang menyerahkan sebagian harta benda sebatas yang diperlukan serta sesuai kemampuan. Ronda malam dan tongkrongan yang melibatkan para pemuda, lelaki separuh baya, dan orang tua masih sering digelar di beberapa sudut jalan, perempatan, dan ujung-ujung gang, menggantikan suasana ngerumpi ibu-ibu dan perempuan di waktu (siang atau sore) sebelumnya. Para ibu pun masih kerap bertukar sayuran kala mereka memasak lebih banyak dari biasanya, lantaran rejeki yang agak meruah dari para suami mereka.

   Kebanyakan jalan dan gang masih berupa tanah. Berpadu dengan pagar bambu atau kayu yang dirangkai bersahaja (meski kebanyakan warga gandrung ‘pagar hidup’ berupa rimbun tanaman dan semak belukar), dinding rumah rata-rata masih menggunakan gedhek (anyaman bambu). Hampir semua rumah memiliki halaman. Dan, hampir semua halaman ditanami sepohon, dua pohon tanaman, entah tanaman keras seperti mangga, belimbing, sawo, jambu, dan pohon kelapa atau semak berguna semacam kemangi, pandan, dan lidah buaya. Ada juga beberapa halaman yang sudutnya ditanami tebu wulung (untuk pelengkap ritual kala ada hajatan tertentu), pohon pisang atau mengkudu. Itulah kenapa anak-anak di kala itu leluasa mengembangkan permainan kolektif yang dominan mengeksplorasi gerak tubuh, sambil bermain petak umpet dan bermain peran atau saling menguber dan berkejaran.

   Satu hal yang kerap tak bisa terlupa dari masa-kanak-kanak saya bersama kawan-kawan sebaya itu adalah ekspresi yang energik dan gembira sepanjang pagi hingga petang terjaga. Bagi yang belum atau tidak sekolah, saban hari nyaris tak ada waktu tersisa kecuali bermain dan bersenang-senang, sambil mengembarai rute petualangan di seantero kampung. Kadang-kadang kami menyusuri kali untuk berburu udang di balik bebatuan, cukup dengan jari-jari dan kelincahan tangan. Di waktu-waktu lainnya, kami memancing setelah buang hajat serta berlanjut ke acara mandi bersama di kali, siang atau sore hari.

   Hal lain yang tak gampang hilang dari ingatan adalah celotehan kawan-kawan sebaya saat telanjang bersama; bersendau gurau saling mencipratkan air, ‘bertempur’ dengan cara saling menekan kepala lawan hingga tenggelam atau melakukan lomba renang selaku atlit kampungan. Ocehan sekenanya ditimpali dengan umpatan-umpatan ‘kecil’ dan sederhana selalu menambah suasana ceria, menggugah syaraf ketawa serta membuat pikiran dan hati kian geli. Namun, meski masih berusia anak-anak, waktu itu kami cenderung dapat membedakan mana celotehan dan umpatan yang boleh kami lontarkan, mana yang tak layak kami ucapkan karena khusus diperuntukkan bagi mulut orang dewasa.

   Kami pun mematuhi aturan tak terlulis semacam itu, yang disampaikan dari mulut ke mulut oleh para orang tua dan kakak-kakak kami yang telah meremaja atau digolongkan dalam usia dewasa. Demikian pula halnya menyoal kata-kata dan istilah yang kami anggap ‘jorok’ manakala menyebut hal-hal yang berkaitan dengan alat kemaluan dan pernak-perniknya. Ucapan jorok menurut pikiran kami kala itu adalah jika suatu kata atau istilah diucapkan oleh anak-anak yang belum akhil balik. Namun anehya tanpa kami sadari selalu ada kata-kata pengganti yang khusus dan boleh kami ucapkan, yang pada dasarnya bermakna sama dengan kata atau istilah tertentu yang khusus hanya boleh diucapkan oleh orang dewasa.

   Jadilah kami memakai istilah manuk (burung) untuk merujuk kata penis, tanpa pernah berani menggunakan kata peli yang maknanya sama, namun cuma pantas diucapkan oleh orang dewasa. Sebagai anak-anak, kami pun punya istilah khusus semacam pringsilan untuk menggantikan zakar, berbeda dengan sinonimnya yang boleh diucapkan oleh orang dewasa saat menyebut organ itu, yakni konthol. Kami juga hanya berani bilang bawuk untuk merujuk vagina tanpa berani mengatakannya sebagai tempik atau turuk, karena kedua kata terakhir itu hanya pantas dilontarkan orang dewasa, namun tak santun diucapkan oleh bibir anak-anak. Hal tersebut kian memperoleh pembenaran dan penguatan, kala saat itu beredar serial boneka berbahasa Jawa di TVRI (Stasiun Yogyakarta) berjudul “Kuncung lan Bawuk” di mana tokoh utamanya adalah seorang anak laki-laki bernama Kuncung dan adik perempuannya, Bawuk. Serial itu sangat populer di kalangan anak-anak di kampung saya.

   Meski secara tak sengaja kerap kali kami mendengar ungkapan menyoal kemaluan dan pernak-perniknya dilontarkan oleh para orang dewasa dengan menggunakan istilah-istilah yang telah pantas mereka ucapkan (sesuai tataran usia), namun kami tak pernah berani meniru mengucapkannya, apalagi menggunakannya dalam pergaulan sehari-hari bersama teman-teman sebaya. Kami berpikir, belum saatnya kami memakai istilah-istilah tersebut karena umur yang belum cukup. Kami masih anak-anak. Kami harus memakai kata-kata serta istilah-istilah yang memang khusus untuk kami pergunakan dalam obrolan sehari-hari sesuai dengan ‘setandar’ anak-anak.

   Kalau ada seorang anak melanggar aturan tak tertulis tersebut, maka ia akan mendapat marah yang luar biasa dari kedua orang tua, saudara, kerabat, dan handai tolan. Tak menutup kemungkinan kabar tentang pelanggaran ‘teritorial’ kebahasaan itu juga bakal didengar oleh orang seantero kampung. Selanjutnya si anak berpotensi menerima ‘hadiah’ berupa pandangan aneh, gunjingan, ‘interogerasi’ tiada henti dari orang-orang yang ia temui. Bahkan anak itu berpeluang ‘ditempeli’ stigma negatip dalam jangka waktu panjang, sebagi pelaku aksi ketidaksopanan. Ia bahkan bisa diboikot dari pergaulan oleh teman-teman sebayanya, lantaran para orang tua tak lagi merelakan anaknya bermain dengan anak yang dianggap ‘tercela’, lantaran mengucapkan kata-kata atau istilah tertentu yang oleh karenanya dianggap bicara ‘jorok’ sebelum waktunya.

   Kini, lamat-lamat saya masih ingat, di kampung saya dulu para ibu bersendau gurau dengan anak balitanya yang berjenis kelamin laki-laki. Mengangkat-angkatnya sambil sesekali mengusap-usap, memegang-megang hingga mempermainkan kemaluan sang anak, bahkan di depan orang banyak. Dengan ritme yang dinamis dan artikulasi lucu, kebanyakan para ibu juga menembangkan lirik berbunyi, “Tak giyong-giyong gandhul,...” berulang kali. Tak jelas benar makna lirik berbahasa Jawa itu, selain secara umum merujuk kepada kemaluan sang anak yang gelantungan dan bergoyang-goyang... (Sosiawan Leak)