36.
Salimi Ahmad
Permainan Lidah
Permainan lidahmu sudah seperti belitan
ular sanca. Menari-nari di antara rongga mulut. Mengacaukan pikiranku. Laksana
telah membawaku ikut berlari. Dan aku merasa lelah, menerobos tempat yang tak
pernah kukenali. Tak pernah kusinggahi. Tapi kutahu betul, apa arti perayaan,
yang berakhir di tengah malam.
Kau lumat pikiranku dengan lidah dan
mulutmu.
Sekujur tubuhku kau siram dengan wewangian
yang kau pungut entah dari buku apa, siapa penulisnya. Kau kutip wejangan
bijak, seraya sambil berbisik mesra dengan satu desahan yang teramat muskil
untuk kutolak. Tapi ketika kau sebut namanya, tak pernah kukenali dia pernah
hidup di mana.
Sesungguhnya aku tak bisa diam. Terlebih
untuk waktu yang cukup lama.
Tapi hari itu, aku enggan mengikuti
permainanmu, meski pun aku telah menggoyang-goyangkan isi otakku. Aku lebih
suka memandangi lampu temaram.
Sebuah siluet hitam tiba-tiba menyergapku
di ujung pangkal lampu itu. Bayangan itu membuat kedutan yang tak bisa kutahan
di punggungku. Seolah datang dari campuran rasa ngilu, sesak napas, dan geli
yang kandas.
Cepat saja ujung jari telunjukku
menekannya. Masih sampai, di sela bongkol, dari lipatan tulang lengan.
Kutekan-tekan sambil menarik napas. Tapi
permainan lidahmu tak juga berhenti, membuatku basah.
Aku mengangkat lenganku ke atas. Seperti
orang menyerah. Tapi bukan kepadamu.
Sesungguhnya aku ingin merentakkan
tulang-tulang di punggungku. Agar lebih terlihat rileks.
Beberapa tulang persendian di punggungku
terdengar berkeretek. Lalu kutarik, ah mungkin lebih tepat bila kukatakan
mendorongnya ke belakang. Selayaknya orang yang sedang membusungkan dada.
Beberapa kali terdengar bunyi keretekan lagi. Duh. Terasa lebih nyaman
sekarang. Kugerak-gerakkan leherku. Memijatnya di titik tertentu, lalu
merebahkan punggung badanku, bersandar.
Aku memandangmu.
Permainan lidah dan mulutmu kembali
seperti belitan ular sanca. Kau lumat segala yang ada di depanmu. Aku terpana.
Tiba-tiba kau menangis. Sesegukan disertai sedih yang sangat.
“Aku telah kehilangan harga diriku. Sebab,
apa yang kuucap dengan lidah dan mulutku, tak pernah benar-benar kukerjakan
sebagaimana kuminta kau mengerjakannya.”