Alya Salaisha-Sinta
Kampung Halaman
/1/
Layang-layang
Di kampung, bocah-bocah berlari menerbangkan layang-layang. Siang yang terik. Debu berterbangan. Angin memainkannya dengan elok. Menggeleng ke kiri, sebentar ke kanan, meliuk bersama sepoi, menukik dalam gemuruh.
Kau mungkin gemas, menyaksikan bocah-bocah itu berlari. Atau barangkali kau tengah berdoa agar langit senantiasa menahan hujan. Membiarkan layang-layang menikmati pertemuannya dengan angin. Atau barangkali, kau ingin mengajakku menari bersama daun-daun kelapa dalam iringan lenguh kerbau dan kambing yang berulang kali mengembik, seperti tawa.
Agak ke arah barat. Disana kau bisa lihat, beberapa layang-layang sedang bercengkrama. Tubuh mereka legam seperti kulit sawo matang. Beberapa orang melihat mereka sebagai deretan bintang hitam. Mereka meliuk di atas sawah, dalam hamparan pagi yang mulai menguning. Burung-burung pipit memandang iri, membayangkan wajah angin begitu bahagia.
/2/
Pohon yang Berjajar
Sekelompok pohon pisang, kopi, cokelat, kelapa dan petai berbaris di pinggir kampung. Anak sungai berair jernih, berkelok dari hulu menuju hilir. Ada titik pecahan, sebelum ke kampung. Barangkali ini jawaban, mengapa Ibumu tak cuma satu.
Dari pohon-pohon yang berjajar. Ada pohon yang batangnya tinggal separuh. Daun-daunnya kering berserak di kulit bumi. Separuh tubuhnya mungkin belum selesai dilukis, sebab kulihat percikan cat minyak menempel di dahannya. Atau ada yang datang mendahuluiku, lalu memangkas ujung batangnya?
/3/
Pohon yang Merambat
Seperti pendaki gunung, ujung-ujung pohon itu menggapai senti demi senti batang bambu yang telah dibuatkan untuk sandaran hidup. Sesekali dia tergoda pada elok kupu-kupu yang kerap menghampiri. Tapi tak goyah, terus didakinya batang bambu hingga tak ada lagi kulit bambu yang terbuka.
“Ini tak akan sia-sia, kekasihku”, katanya pada bambu. Keesokan harinya, kulihat kacang panjang dan buncis siap untuk dipetik.
/4/
Seruit dan Tempoyak
Ikan-ikan itu membayangnya tubuhnya berenang di laut hitam. Melayang tanpa takut karam. Padahal, ia lahir di bendungan tua di belakang rumah, lalu tersangkut kail. Dan Ibu, menuntaskan nasibnya di dalam kolam minyak.
Terong muda itu membayangkan tubuhnya disiram hujan yang dirindui sejak awal paceklik. Lantas hujan menjelma banjir, menjadi badai, menenggelamkan tubuhnya, tubuh daun, batang dan bunga-bunga ungu. Entah bagaimana, kini dia terbaring di meja makan.
Durian itu membayangkan tubuhnya dicabik-cabik elang yang mengira dia telah menjadi bangkai. Lantas dengan tubuh penuh cabik, dia menemui Ibu, juru masak handal di desa kami. Direlakan tubuhnya dicampur garam, disimpan berhari-hari, sebelum dia menjadi anggun, duduk di cobek cantik malam itu.
Orang-orang mulai duduk mengelilingi meja, kemudian mengucap doa dan syukur kepada Tuhan. Adalah yang lebih lezat dari ketiganya?
/5/
Kain Tapis
Ada selembar kain yang elok dipakai Ibu suatu sore. Di tiap baris motifnya, kau bisa menyaksikan siger menari-nari di kepala muli. Juga gajah Way Kambasyang menangkut hasil panen petani. Bahkan sederet kapal para saudagar, terdampar disana.
Barangkali nenek moyang Ibu yang meletakkannya di situ, agar Ibu lancar berdongeng tentang kampung kami.
/6/
Wajah Ibu
Pernahkah kau bayangkan, wajah Ibumu mendadak pucat? Dan dibalik kerudung putihnya itu, kau tak lagi mendapati lingkar mata, hidung dan mulut.
Pernahkah kau bayangkan wajah sayunya itu diam tatkala angin mencoba menerobos ke pori-pori kulitnya? Hanya helai-helai anak rambutnya yang melambai, seperti memanggilmu untuk datang dan memeluknya sejenak.
Pasti tak ada yang menduga, bahwa wajah Ibuku kini serupa gemericik air. Meneteskan air dari mata yang bening. Hingga aku dan bocah-bocah selalu ingin tahu, bagaimana rasanya tenggelam.
Cikarang, 1 Juli 2014
Alya Salaisha-Sinta
adalah nama pena dari Purbarani Sinta Hardianti, kelahiran Jombang, 26 Maret 1986. Menulis puisi dan mengikuti lomba baca puisi sejak di bangku kuliah di Politeknik Negeri Lampung. Saat ini aktif sebagai anggota Forum Sastra Bekasi dan Sastra ReboanKarya-karyanya banyak dimuat diberbagai media regional dan nasional. Puisinya yang berjudul “Akuarium” berhasil meraih juara 1 dalam Tulis Nusantara Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2013. Penyair ini tinggal di Cikarang Bekasi.
Kampung Halaman
/1/
Layang-layang
Di kampung, bocah-bocah berlari menerbangkan layang-layang. Siang yang terik. Debu berterbangan. Angin memainkannya dengan elok. Menggeleng ke kiri, sebentar ke kanan, meliuk bersama sepoi, menukik dalam gemuruh.
Kau mungkin gemas, menyaksikan bocah-bocah itu berlari. Atau barangkali kau tengah berdoa agar langit senantiasa menahan hujan. Membiarkan layang-layang menikmati pertemuannya dengan angin. Atau barangkali, kau ingin mengajakku menari bersama daun-daun kelapa dalam iringan lenguh kerbau dan kambing yang berulang kali mengembik, seperti tawa.
Agak ke arah barat. Disana kau bisa lihat, beberapa layang-layang sedang bercengkrama. Tubuh mereka legam seperti kulit sawo matang. Beberapa orang melihat mereka sebagai deretan bintang hitam. Mereka meliuk di atas sawah, dalam hamparan pagi yang mulai menguning. Burung-burung pipit memandang iri, membayangkan wajah angin begitu bahagia.
/2/
Pohon yang Berjajar
Sekelompok pohon pisang, kopi, cokelat, kelapa dan petai berbaris di pinggir kampung. Anak sungai berair jernih, berkelok dari hulu menuju hilir. Ada titik pecahan, sebelum ke kampung. Barangkali ini jawaban, mengapa Ibumu tak cuma satu.
Dari pohon-pohon yang berjajar. Ada pohon yang batangnya tinggal separuh. Daun-daunnya kering berserak di kulit bumi. Separuh tubuhnya mungkin belum selesai dilukis, sebab kulihat percikan cat minyak menempel di dahannya. Atau ada yang datang mendahuluiku, lalu memangkas ujung batangnya?
/3/
Pohon yang Merambat
Seperti pendaki gunung, ujung-ujung pohon itu menggapai senti demi senti batang bambu yang telah dibuatkan untuk sandaran hidup. Sesekali dia tergoda pada elok kupu-kupu yang kerap menghampiri. Tapi tak goyah, terus didakinya batang bambu hingga tak ada lagi kulit bambu yang terbuka.
“Ini tak akan sia-sia, kekasihku”, katanya pada bambu. Keesokan harinya, kulihat kacang panjang dan buncis siap untuk dipetik.
/4/
Seruit dan Tempoyak
Ikan-ikan itu membayangnya tubuhnya berenang di laut hitam. Melayang tanpa takut karam. Padahal, ia lahir di bendungan tua di belakang rumah, lalu tersangkut kail. Dan Ibu, menuntaskan nasibnya di dalam kolam minyak.
Terong muda itu membayangkan tubuhnya disiram hujan yang dirindui sejak awal paceklik. Lantas hujan menjelma banjir, menjadi badai, menenggelamkan tubuhnya, tubuh daun, batang dan bunga-bunga ungu. Entah bagaimana, kini dia terbaring di meja makan.
Durian itu membayangkan tubuhnya dicabik-cabik elang yang mengira dia telah menjadi bangkai. Lantas dengan tubuh penuh cabik, dia menemui Ibu, juru masak handal di desa kami. Direlakan tubuhnya dicampur garam, disimpan berhari-hari, sebelum dia menjadi anggun, duduk di cobek cantik malam itu.
Orang-orang mulai duduk mengelilingi meja, kemudian mengucap doa dan syukur kepada Tuhan. Adalah yang lebih lezat dari ketiganya?
/5/
Kain Tapis
Ada selembar kain yang elok dipakai Ibu suatu sore. Di tiap baris motifnya, kau bisa menyaksikan siger menari-nari di kepala muli. Juga gajah Way Kambasyang menangkut hasil panen petani. Bahkan sederet kapal para saudagar, terdampar disana.
Barangkali nenek moyang Ibu yang meletakkannya di situ, agar Ibu lancar berdongeng tentang kampung kami.
/6/
Wajah Ibu
Pernahkah kau bayangkan, wajah Ibumu mendadak pucat? Dan dibalik kerudung putihnya itu, kau tak lagi mendapati lingkar mata, hidung dan mulut.
Pernahkah kau bayangkan wajah sayunya itu diam tatkala angin mencoba menerobos ke pori-pori kulitnya? Hanya helai-helai anak rambutnya yang melambai, seperti memanggilmu untuk datang dan memeluknya sejenak.
Pasti tak ada yang menduga, bahwa wajah Ibuku kini serupa gemericik air. Meneteskan air dari mata yang bening. Hingga aku dan bocah-bocah selalu ingin tahu, bagaimana rasanya tenggelam.
Cikarang, 1 Juli 2014
Alya Salaisha-Sinta
adalah nama pena dari Purbarani Sinta Hardianti, kelahiran Jombang, 26 Maret 1986. Menulis puisi dan mengikuti lomba baca puisi sejak di bangku kuliah di Politeknik Negeri Lampung. Saat ini aktif sebagai anggota Forum Sastra Bekasi dan Sastra ReboanKarya-karyanya banyak dimuat diberbagai media regional dan nasional. Puisinya yang berjudul “Akuarium” berhasil meraih juara 1 dalam Tulis Nusantara Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2013. Penyair ini tinggal di Cikarang Bekasi.