Winar Ramelan
Di Dalam Tubuh Perempuan
Di dalam tubuh perempuan telah diciptakan air dan api, menjadi sungai dan lentera yang mengalir dan menyala bersamaan sepanjang hidupnya.
Menjadi tubuh sungai untuk menyudahi gersang maupun dahaga, lewat alir beningnya segala daki akan terbasuhkan dan termaafkan hingga membawa kita ke muara. Melunaskan dahaga karena setiap tetesnya adalah kebeningan yang lahir karena cinta dan kasihnya.
Menjadi lentera yang tetap menyala dengan lentik indahnya agar gulita usai dan setitik terang meski jalan tak selalu lapang.
Tubuh perempuan dengan alir bening dan nyala apinya. Rela tubuhnya menjadi pematang dan menjadi titian bagi peladang atau bagi rare angon yang hendak main layang layang. Dalam ramping pinggangnya, peladang telah mencangkulnya hingga menjadi gembur, tunas jagung atau padi tersemai, rumput dan gulma kadang menimpali.
Dan malam malamnya dengan lentera yang menyala, ia siangi gulma dengan doa dan pengharapan pengharapan yang tak lelah dilangitkan.
Ia pun menjadi embun dan menangkap bayang apa pun dengan diam, tanpa mengurangi dan tak pernah melakukan penolakan meski beningnya acapkali harus lesap aleh sengat atau jumawanya bagas.
Dalam lentiknya ia kadang menjadi karang yang tak henti digempur gelombang dan pada akhirnya tetap menjadi sungai yang bening tempat peladang bermandi dan sungai tempat bersuci yang berdaki.
Sekali waktu badai memadamkan api di tubuhnya dan menutup alir beningnya dan perempuan tak menjadikan punah, ia sejenak jeda dari amuk badai atau lusuhnya nasib, sebelum akhirnya alir bening itu tetap mengalir dan mengalir sampai muara.
Takdir
Takdir
Senantiasa membawa ke kelindan musim
Musim hujan untuk menyemai
Musim panas untuk memanen
Meski musim kadang berganti nama
Menjadi musim yang sungsang
Entah
Takdir atau karma
Timbal balik dari perjalanan masa lalu
Dan kita menempuhnya
Sebagai pelunasan
Bukan bunga atau buah yang selalu manis
Meski ulat atau kelelawar tak ragu mencicipi
Seperti itulah duka
Kadang menyertai seperti bayang diri
Ada yang paling setia
Seperti punggung tangan
Dan telapak tangan yang bergambar garis takdir
Namun tak semudah itu membalikannya
Punggung yang hitam tempat kita menggembalakan diri
Dan telapak yang putih
Menjadi garis yang tak bisa dipungkiri
Sunarti Ramelan yang lebih dikenal dengan nama Winar Ramelan lahir di Malang pada tanggal 5 Juni dan kini tinggal di Denpasar. Menulis kumpulan puisi tunggalnya dengan judul NARASI SEPASANG KAOS KAKI yang diterbitkan penerbit Teras Budaya, Jakarta. Menjadi anggota Komunitas Jati Jagad Kampung Puisi (JKP), Dapur Sastra Jakarta (DSJ), dan penulis puisi di majalah Wartam. Puisinya juga dimuat di beberapa media cetak dan online juga buku antologi bersama, antara lain harian Denpost, Bali Post, Post Bali, Wartam, Banjarmasin Post, Tribun Bali, Radar Malang, Dinamikanews, konfrontasi.com, Sayap Kata, Dinding Aksara, detakpekanbaru.com, Kompasiana, Flores Sastra, dan tatkala.com
Tergabung dalam antologi bersama, Palagan, Untuk Jantung Perempuan, Melankolia Surat Kematian, Klungkung Tanah Tua Tanah Cinta, Madah Merdu Kamadhatu, Tifa Nusantara 3, Puisi Kopi Penyair Dunia, Pengantin Langit 3, Seberkas Cinta, Lebih Baik Putih Tulang Daripada Putih Mata, Progo Temanggung Dalam Puisi, Rasa Sejati Lumbung Puisi, Perempuan Pemburu Cahaya, Mengunyah Geram Seratus Puisi Melawan Korupsi, Jejak Air Mata Sittwe ke Kuala Langsa, Senja Bersastra Di Malioboro, Meratus Hutan Hujan Tropis, Ketika Kata Berlipat Makna, Tulisan Tangan Satrio Piningit, Saron, A Skyful of Rain, Sebutir Garam di Secangkir Air, Berbagi Kebahagiaan Dalam Tadarus Puisi, Perempuan Bahari, Antologi Puisi Lombok, Sketsa Jihwa, Semesta Jiwa, Obituari Puisi Dan Prosa Arie MP Tamba, Pandemi Puisi, Alumni Munsi, Gambang Semarang, Asap Riau Duka Serantau, Sampah Serapah Sripah