Siliverter Kiik
Perempuan Berselendang Biru yang Sedang Bersyair Menunggu Bulan
Perempuan berselendang biru yang sedang bersyair menunggu bulan,
air matanya mulai gerimis bagai sekelompok kupu-kupu kecil,
yang begitu bebasnya menakhodai malam merenggut etalase sunyi,
tanpa terang sebatang lilin, wangi bunga-bunga cendana,
hingga napas tinggal seinci melemah menghimpun daun-daun yang gugur.
Perlahan rembulan memecah heningnya,
dari tanah menuju batu, telaga menuju bukit-bukit gersang,
alirkan sungai membelah dinding-dinding ngarai,
kembali melempar salam untuk tabah pada beningnya,
yang tak henti-hentinya memberi damai untuk mengenang lelakinya.
Malam kelam makin mengajak terpejam dalam mimpi seribu malam,
layaknya tempat sebuah pengampunan untuk mendenguskan kata-kata suci,
dan ingin berkata pada terang: “izinkan aku untuk menumpahkan derasnya air mata ini, dan biarkan ia sejenak menggenang pada potretnya”,
atau “biarlah kusampaikan bait-bait ini pada rongga-rongga yang menganga, untuk tuntas di penghujung malam”.
Ufuk timur mulai melipat noda-noda hitam dan penghayatannya,
dengan memberi setetes embun di atas daun-daun keladi tua,
yang kelak embusan menggoyangkan dan menumpahkannya,
pada kenangan yang pernah menyinggahinya,
dan akan membawanya menguap dan lenyap dari segala arah,
bahwa ia yang pergi adalah tempat sebuah luka bertunas.
Atambua, 25 November 2020
Hujan yang Datang Terlambat Menangkap Musim
Hujan yang datang terlambat menangkap musim,
memaksa angin cemberut pergi,
mematahkan dahan-dahan yang sedang lapar,
mencabik puncak pohon-pohon tua karena dendam,
berlutut membuat perapian yang tak menyenangkan bernyala-nyala,
dan seluruh pondok menjadi kaku.
Aku mendengarnya dengan hati remuk,
benih-benih masih pulas dalam sarungnya,
“sampai kapan aku dibangkitkan dari kandungan ini?”
dan menyaksikan mereka dengan tangan yang kotor,
kain kusut dan topi anyaman yang menetes,
dan membiarkan rambut basahnya rontok.
Aku yang sedang gelisah menunggu suara panggilan,
harus mengadu pada hujan hari ini,
sebab gadisku masih saja melebarkan jemarinya pada sehelai tenunan,
yang mungkin akan dikalungkan di leher,
bila musim tanam dirayakan.
Atambua, 01 Desember 2020
Silivester Kiik, lahir di Kecamatan Io Kufeu Kabupaten Malaka , 14 September 1987. Karya antara lain: “Amor (2020); DEBU dan Sebuah Pesan yang Belum Sempat Terbaca Oleh Rembulan (2020); Menabur Matahari (2020);
Puisinya mengisi antologi bersama nasional dan regional diantaranya : “Sepotong Hati yang Terluka (2018); Tetes Embun Masa Lalu (2018); Seutas Memori dalam Aksara (2018); Warna-Warni Aksara (Jilid II) (2018); Laki-Laki Perkasa yang Tak Pernah Menangis (2018); Diam yang Bersuara (2018); Prelude (2019); Romantisme Perahu Kertas (2019); Montase Kenangan (2019); Berapi (2019), Pucuk-Pucuk Harapan (2019); Bercengkerama di Musim Rindu (2019); Topeng Jiwa (2019); Sepasang Tangan yang Terpasung (2019); Sajak-Sajak Penaku dan yang Bersemayam dalam Diri (2019); Segelintir Kesucian (2019); Selamat Datang Mas Nadiem: Gagasan Literasi Maju untuk Menteri Baru) (2019); Menyalibkan Cemburu (2020); HIDUP ITU PUISI dan Sajak-Sajak yang Terlempar di Tengah Kampung (2020); Rumah Sebuah Buku (2020); Corona-Penyair Indonesia Mencatat Peristiwa Negeri-Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia VIII (2020); Tadarus Puisi IV-Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia (2020); Sampah-Puisi Penyair Indonesia (2020); Seruling Sunyi untuk Mama Bumi (2020); dll. Saat ini tinggal di Kota Perbatasan RI-RDTL (Atambua-Belu-NTT).