Sulistyo
Pesan Laron-laron
Kata sekawanan laron, puisiku telah lama mati
Tak ada lagi seribu bait puisi meneriakkan kelaparan saat sarapan pagi
Apakah aku pujangga dungu yang memintal kata demi kata dan membiarkan terbawa hujan lalu terlindas roda-roda pedati?
Apakah aku pujangga dungu yang kehabisan kata karena pena ini telah lama mengering kehilangan imaji?
Wahai laron-laron, ceritakan pada awan tentang harum bumi pagi ini, tentang riang bocah-bocah berlarian menjaring tawa bersama sayap-sayapmu yang genit mempermainkan tingkah mereka
Mengepul asap kopi, kuseduh tanpa gula karena pemanisnya adalah senyum bidadari bergelayut manja di lengkung pelangi
dan bocah-bocah tetap berlarian menjaring sisa awan
sementara riuh dengkur tadi malam masih melekat di puntung rokok kretek
Pasrah
Tergeletak lemas di asbak basah
Kata sekawanan laron, tak perlu lagi kutulis puisi
karena mereka telah beranak pinak menjadi bulir-bulir padi di hampatan sawah-sawah petani, menjadi ikan-ikan dalam jaring-jaring nelayan, menjadi rimbun flamboyan peneduh jalanan perkotaan, menjadi deburan ombak dalam biru lautan
Puisiku telah lama mati, kata sekawanan laron
tapi akan selalu abadi menari dalam tubuh matahari
Jakarta, 11 September 2020
*Laron-laron yang dimaksud dalam puisi adalah laron-laron yang muncul/keluar dari lubang tanah waktu pagi sesudah hujan malam hari. Bukan laron-laron yang mengerubuti lampu saat malam hari.
Sulistyo
Menyukai sastra khususnya puisi sejak sekolah dasar. Lahir di Kudus pada 11 September. Mengikuti beberapa antologi bersama antara lain Kata Kita, Tadarus Puisi IV, Sampah.
Tinggal di Jakarta.