Ria Mi
Surat Kepada Sampah Plastik
Sebelum warna jingga memasuki kampung
Aku ingin menitipkan surat ini kepada sampah plastik
Bisakah kau menyampaikan dengan sejujur-jujurnya, wahai angin yang menderu?
Surat ini kutulis setelah berjuta nyawa yang tertimbun sampah plastik menangis sendu di pojok waktu
Sebuah tanya kusampaikan kepada tangis, "Mengapa engkau menagis?"
Kokoh karang yang tak mampu menahan beban sampah plastik di laut telah menimpa kami. Sampah sampah itu menyumbat jalan air dari muara sungai. Hingga debit airnya meluap menjadi malaikat maut.
Di bantaran sungai yang lain, sampah plastik menggila! Memenuhi ruang jantung sungai hingga tak bisa bernapas
Apa kau masih punya hati plastik?
Jika kau punya rasa bacalah suratku ini, agar kau mengerti bahwa pada ambang batas keberadaanmu membuat sulit kami
Di pinggir jalan sampah plastik mengundang lalat
Dalam deru hujan kau ikut hanyut masuk dalam ruang-ruang tanpa diundang
Maka ini surat peringatan
Jika masih saja kau beterbangan, memenuhi ruang ruang maka aku akan mendaur ulang segala apa yang kau lakukan kepada kami
Kuambil paksa kau dengan mesin berat
Memasukkannya dalam tempat yang semestinya
Bukit Nuris, 21 September 2020
Ria Mi
Air Kehidupan
Kau gemericikkan lewat gerimis
Membisikkan kalam-kalam nyata dalam diri
Agar kumengerti ayat-Mu dalam kidung panjang yang ngilu
Kau genangkan pada petak-petak rasa lalu Kau tumpahkan lewat sudut mata
Biar hilang gegap pengap jiwa
Oh air kehidupan
Kau titipkan pada ranting Cemara yang setia pada perintah
Untuk menjatuhkan di ubun-ubun yang melewati jalan setapak dengan gontai dan kehausan
Haus air kehidupan...serasa mati sebelum mati
Tapi detak tak henti
Sedang kaki-kaki tetap melangkah
Menuju cahaya
Air kehidupan menyertai di kalbu-kalbu niscaya
Kun fayakun gersang jadi rimbun
Kun fayakun haus ada teguk setetes embun cukup untuk seumur hidup menuju cahya-Mu
Tumit-tumit nyeri...rasanya menusuk kalbu
Darahnya menjadi senjata
Penggali air kehidupan
Kun fayakun rasa mati jadi hidup kembali
Berseri membening dalam langkah pasti di lautan La Tahzan
Bukit Nuris, 19 September 2020
Riami, tinggal di Malang. Pernah menulis di Malang Post, penulis buku " Catatan Harian Belajar di Bukit Nuris", "Pelangi Kerinduan", " Kisah Romansa di Negeri Awan", dan "Serpihan-serpihan Kisah Kita", “Dua Mata Haiku”, bersama Mohamad Iskandar”, dan “Sajak Biru”. Aktif menulis di kompasiana.com, aktif di Group Sahabat Guru Super Indonesia, sedang mendalami haiku di Group Kelas Puisi Alit (KEPUL) yang di ampu oleh penyair Mohamad Iskandar. Mendalami Puisi bebas di Kelas AIS ( Asqalani Imagination School) diampu oleh Muhammad Asqalani eNeSTe, Mengajar di SMPN 2 Pakisaji Kab. Malang.