Soekardi Wahyudi
Tembang Belantara
Karya : Sukardi Wahyudi
(menari menarilah para Enggang di pucuk mimpi
kicau mu adalah nada pilu
pada ranting dan dahan kehidupan).
Fatma mengambang bersilimut bulan bercahaya emas
malam empat belas
malam lima belas
malam enam belas
huuuuii, puiih.
Urat yang renta
menghunus kepalan menjawab tantangan
berkali-kali dipukulkan di dadanya
meramu dosa hutan terlarang
gilang tembang tingkilan
memabukkan hudoq kehilangan rotan
menangis menyaksikan lukisan rindu
di robek-robek gelombang gubang dan kapal dagang.
Gemericik di jilat ombak manja
mengulur arus memuntahkan tuba sampai ke muara baroh
ayo beradu tatapan
damarpun mengepul harum dupa pedalaman
ikan berkata : jala nelayan kalah kekuatan.
Doa dan mantra disemburkan
untuk menjaring angin rimba yang kehilangan keperawanannya
akar layu di cium nafsu
meneteskan air mata mahakam terluka darah
memakan paksa,
mengisap lizat
kera berkata : lamin ku jadi rebutan.
(menari menarilah para Enggang di rimba duka
kepakmu adalah kesetiaan yang harus di kobarkan
pada ranting dan dahan kerinduan).
Fatma mengambang bersilimut bulan bercahaya emas
malam empat belas
malam lima belas
malam enam belas
huuuuii, puiih.
Keringat siang terus mengaliri malam
membawa langkah kehidupan ke tepian akhir
dan angin gerakan harapan
membelah riak sungaiku, menggairahkan segala sepiku
mencari tanda-tanda kejujuran di kening bunda
mengais
tahta
mahkota yang tersisa.
Memetik buih di atas pusaran waktu
hari
bulan
dan tahun
yang selalu memikul meranti berdaun duka.
Gigil nyali perahuku mendengar teriakan arusmu
padahal di dadamu
ada dadaku
di darahmu
ada darahku
mengalir
terus
aku dengan setia menunggu.
(menari menarilah para Enggang di dada semesta
senyum mu adalah cinta yang harus diwujudkan
pada ranting dan dahan kearifan).
Fatma mengambang bersilimut bulan bercahaya emas
malam empat belas
malam lima belas
malam enam belas
huuuuii, puiih.
Jangan protes pada tugu yang hanya diam dan bisu
tempat pesta nostalgia masa lalu
mengepalkan tangan mengibarkan bendera
di sayap-sayap garuda.
Denting sampeq
menggerakan gantar dan tari perang
menaburkan benih sakral ke liang sepi
menyusuri setiap muara arah kejujuran
di atas berjuta wajah berselimutkan merah putih
yang tersiram teriknya matahari
melumat paksa
membakar dada disetiap batang jiwa
meremas santan hatinya hingga hilang pati sari
menjerat langkah perjuangan yang tertatih sarat beban kepalsuan.
Di atas ujung waktu
teriakkan ke telingga hujan suara kemarau
suara nafas kehidupan yang tersenggal
suara tangis bumi
suara yang tak punya suara
suara tangan-tangan yang melahirkan buah duka.
Kukar, 17012019/2020.
Soekardi Wahyudi
Penghargaan
Hari ini
membagi senyum
sejarah mencetak nama di alenia pertama
dengan huruf kafital terteriakan di persada
semua berdecak
kagum entah apa.
Hari ini
semua bertepuk tangan
ucapan selamat bergema
menyusuri pori nadi belantara kemerdekaan
semua bangga
iklas entah apa.
Hari ini
aku termenung dalam sepi ku
diantara derap langkah merah putih mu
yang diiringi senandung puji puja
semua menganggukan kepala
tanda setuju entah apa.
Hari ini
adalah tiga puluh enam tahun terrendam dalam bakti
saat Indonesia sematkan perunggu berlapis emas
tepat di dada kanan nyilu
dibalik nama ada daftar sembilu
menunggu hari tua ku.
Dan hari ini
terlepaskan semua aturan
pasal dan ayat
yang tertancap melekat di otak kiri kanan
agar sempurna jejak rindu ku.
Kotaraja, 17082019/20.
H. Sukardi Wahyudi, lahir di Samarinda pada tanggal 17 Januari 1960, Sukardi Wahyudi mengaku mengeluti dan memperdalam dunia sastra secara autodidak, hal itu dilakukan sejak tahun 1977 dan baru tahun 1981 berani mempublikasikan karyanya di media masa baik Daerah maupun nasional dan Buletin sastra yang tersebar di Nusantara. Sukardi Wahyudi telah menghimpun karyanya secara tunggal maupun bersama yang diterbitkan dalam sejumlah buku antologi puisi dan cerpen antara lain : Diam (1983, Ikatan Pencinta Satra Kabupaten Kutai) Tongkat (1984, Ikatan Pencinta Sastra Kabupaten Kutai), Boom (1984, IPS Tenggarong), Hudoq 2000 (1985, Ikatan Pencinta Sastra Kabupaten Kutai), Menepis Ombak Menyusuri Sungai Mahakam (1999, Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Kutai), Seteguk Mahakam (2006, Penerbit Matahari Jogyakarta), Ada Gelisah Di Pertemuan Waktu Antologi Cerpen (2011, Penerbit Araska Jogyakarta) Lelaki Itu Antologi puisi ( cetekan I - 2010, cetakan II - 2018 Penerbit Araska Jogyakarta) dan Jejak Rindu Antologi puisi (2019, Penerbit Araska Jogyakarta). Karyanya juga termuat dalam beberapa buah buku antara lain Secuil Bulan Di Atas Mahakam Antologi puisi bersama penyair Kaltim (1999, DKD. Prov. Kaltim), Maaf dan Penyesalan ( Antologi Puisi 2005 ), Ikhtisar Sastra Indonesia Di Kalimantan Timur (Apresiasi, 2009), Ensiklopedia Sastra Kalimantan Timur (Apresiasi, 2009),dll